|
Oleh: Ismail Suardi Wekke, Ph.D* |
Seratus
hari berlalu sejak Kabinet Indonesia Maju sudah ditabalkan. Kita masih saja
menanti “kemana arah pendidikan bangsa hendak dibawa?”. Setelah eksperimen lima
tahun di 2014-2019 tidak lagi dilakukan, pemisahan antara pendidikan dasar dan
menengah dengan pendidikan tinggi.
Sekarang secara administratif justru diwujudkan eksperimen baru, fungsi riset pendidikan
tinggi diiplementasikan melalui Kementerian Riset dan Teknologi, sementara
fungsi dua dharma lainnya dikoordinir Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
“Akankah perjalanan bangsa kita berlangsung dengan eksperimen dari kabinet ke
kabinet?”.
Sebelum
itu, kami hendak mengajak pembaca untuk menengok posisi pendidikan Indonesia
dalam konteks bangsa. Pendidikan Indonesia diprakarsai oleh lembaga pendidikan
keagamaan. Di masyarakat muslim, Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Persatuan
Islam, Mathlaul Anwar, Tarbiyah Islamiyah, Darul Da’wah Wal Irsyad, Al Khairat,
As’adiyah.
Sementara
di masyarakat Katolik ada Atmajaya, Sanata Dharma, Charitas, Xaverius, Kanisius,
De Britto, Pangudi Luhur. Juga di masyarakat Kristen terdapat Penabur, Huria,
Eben Haizer, Duta Wacana, Immanuel, Petra.
Baik
Masjid maupun Gereja, juga Pura bersama-sama menginisiasi lembaga pendidikan.
Bahkan sebelum ada label negeri dalam sebuah intitusi pendidikan. Lembaga
pendidikan yang dikelola masyarakat sudah lebih awal wujud bahkan tanpa pendanaan
dari negara yang saat itu bahkan belum terlembagakan. Justru lembaga pendidikan
keagamanlah yang menopang berdirinya negara kita.
Secara
khusus, artikel kami menguraikan lembaga pendidikan Islam. Bukan berarti bahwa
lembaga pendidikan keagamaan yang dikelola oleh masyarakat lain tidak berarti,
tetapi kami yang tidak arif dalam kajian tersebut.
Lembaga
pendidikan seperti Gontor, mampu bertahan sampai sekarang sejak 1926. Apa yang
menjadi daya dukung? Diantaranya, Panca Jiwa pondok yang menjadi bagian dari
“doktrin” pembelajaran. Bisajadi kita menyebutnya dengan istilah Pendidikan
Karakter. Sejak awal pendirian sampai sekarang, doktrin itu tidak pernah
berubah. Berarti dalam pendidikan perlu ada konsistensi. Bukan dengan uji coba
semata. Untuk sebuah minyak angin saja tidak memungkinkan coba-coba, apalagi
untuk pendidikan.
Tidak
hanya di Gontor, lembaga pendidikan Islam tersebar di Tebuireng, Denanyar,
Guluk-guluk, Kprayak, Mangkoso, Sengkang, Padang Panjang, Tamalanrea, Kombos.
Sementara YAPIS di Tanah Papua tidak saja untuk masyarakat muslim tetapi bahkan
warga Protestan dan Katolik juga turut bergabung di dalamnya. Lembaga
pendidikan inilah yang justru menjadi institusi pendidikan dimana tidak semua
anak bangsa dapat ditampung di pendidikan negeri.
Dengan
demikian, ketika mendiskusikan pendidikan bangsa ini, pendidikan swasta, dan
pendidikan keagamaan tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Sementara
kementerian hanya berkutat pada pendidikan negeri semata. Lembaga Pendidikan
tersebut bukan hanya fasilitator untuk keperluan administrasi Pendidikan
semata, bahkan melampaui tugas Pendidikan. Lembaga berkenaan bahkan juga
menjadi perekat harmoni kebangsaan.
Sementara
Al Khairaat di Palu dan Nahdhatul Wathan di Lombok, ketika bencana melanda
menjadi bagian masyarakat untuk penanggulangan bencana. Lembaga Pendidikan
tidak berkutat di kelas semata tetapi juga memainkan peranan dalam mitigasi
bencana dan juga proses recovery baik fisik maupun psikis.
Pendidikan
bukan soal bekerja saja, tetapi menghubungkan antara pengalaman belajar dengan
kehidupan nyata. Sehingga apa yang dipelajari di bangku sekolah, juga berasal realitas
sehari-hari. Masyarakat yang berada di pesisir, tentu lebih memerlukan sekolah
kejuruan dalam bidang perikanan dan kelautan, dan bukannya justru kejuruan
dalam bidang pertanian. Jikalau terjadi ketidaksesuaian antara kehidupan nyata
dengan pembahasan pelajaran di sekolah, itulah yang menjadi awal dari masalah
pendidikan kita.
Slogan
“link and match” sesungguhnya berada di sini, bukannya justru apa yang
dipelajari hanya semata-mata perlu dikaitkan dengan kebutuhan industri semata.
Kemampuan lulusan sekolah untuk hidup di masyarakatnya sendiri lebih diperlukan
berbanding menyiapkan pekerja untuk diserap lapangan kerja. Padahal, bisajadi lapangan
kerja yang ada, justru sudah berubah dengan materi yang diajarkan ketika proses
pembelajaran sementara dilaksanakan.
Pendidikan
berubah bukan pada kurikulum. Tetapi menymakan persepsi dalam rangka menghadapi
tantangan zaman yang berubaha sesuai dengan keadaan zaman itu. Agenda
kebangsaan juga mengalami dinamika sesuai dengan keadaan bangsa dan tantangan
global yang senantiasa melingkupi.
Satu
hal lagi, media pendidikan bisa saja berubah. Bahkan jargon 4.0 mulai digunakan
sebagai bagian dari pidato para pejabat dan juga tema seminar. Namun, di balik
itu pendidikan tetap seperti itu adanya sampai kiamat. Pendidikan sejatinya
merupakan bagian kehidupan itu sendiri. Perabot boleh berbeda tetapi sikap
manusia tetap saja sama.
Mari
sejenak kita melihat masyarakat pesantren. Zaman berubah, teknologi berkembang,
dan juga industri mengalami revolusi. Namun, sikap pesantren terhadap teknologi
dan semua perubahan itu tetap saja sama. Menjadikan itu semua sebagai benda
atau “keduniawiaan”, sehingga tidak menuhankan benda. Materi dianggap sebagai
jalan kedekatan menuju Allah. Bukan justru mempertuhankan benda dan
menyingkirkan manusia dari hati.
Pesantren
merupakan Lembaga Pendidikan Indonesia yang justru tumbuh dari Rahim Indonesia
itu sendiri. Sekali lagi kami menyebut Gontor. Ketika diasaskan, Gontor
melakukan benchmark terhadap empat Lembaga yaitu Al-Azhar (Mesir), Syanggit
(Mauritania), Aligarh (India), dan Santiniketan (India). Keempat Lembaga
tersebut dengan kekhasan masing-masing dijadikan sebagai acuan dan diadaptsi ke
dalam budaya Indonesia sendiri.
Studi
kasus Gontor ini memberikan pesan bahwa sebuah Lembaga Pendidikan juga terkait
dengan gagasan dan cita-cita pendiri. Begitu pulalah Indonesia, negara ini
didirikan dengan cita-cita para pendiri bangsa. Salah satunya untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka, Pendidikan kita perlu diarahkan untuk itu.
Bukan hanya untuk menjadi pekerja industri.
Pendidikan
Indonesia, tidak harus menjadikan satu-satunya tolok ukur seperti PISA ataupun
urusan rangking lainnya. Demikian pula perguruan tinggi yang tak harus
mengikuti perlombaan rangking. Kalaupun itu dipandang perlu sebagai bentuk
ikhtiar untuk mendudukkan perguruan tinggi Indonesia bersanding dengan
perguruan tinggi lain secara global, maka cukup dengan mandate yag diperluas.
Tak perlu semuanya harus mengikuti perangkingan. Jika world class university
menjadi satu acuan, ada acuan lain yang dapat digunakan seperti community
based university, ataupun entrepreneur university. Model perguruan
tinggi bukanlah tunggal hanya dengan perguruan tinggi riset. Model pilihan itu
tentu untuk memenuhi keperluan masyarakat. Bukan untuk memuaskan keperluan
masyarakat lain.
Sebagaimana
penataan Kawasan ataupun kota bukanlah semata-mata untuk destinasi wisatawan.
Bagian yang paling penting justru supaya penduduk dan masyarakat nyaman di
kotanya sendiri. Bukan dengan menyiapkan kota itu untuk didatangi oleh orang
lain dan tidak mempertimbangkan masyarakat sendiri sebagai penduduk. Ketika itu
nyaman untuk warganya sendiri, maka pengunjungpun tentu akan nyaman.
Akhirnya,
inilah yang menjadi ketidakpahaman kami jika ada suara yang menginginkan untuk
berkiblat ke negara lain. Pertanyaan kami adalah “kenapa pula takjub dengan
pendidikan luar negara, sementara kehidupan mereka justru berbeda sama sekali
dengan pendidikan Indonesia?”.
Pendidikan
perlu mengakar kepada keperluan masyarakat dan untuk keperluan masyarakat
Indonesia sendiri. Bukan dengan takjub melihat pendidikan negara lain dan
kemudian Pendidikan kita terasing di masyarakatnya sendiri. Jika itu terjadi,
maka Pendidikan tak lagi menjadi sarana kehidupan tetapi justru menjadi mimpi
buruk. Semoga itu tidak terjadi.*
*Ismail Suardi Wekke, Ph.D, Ketua DPD Forum Dosen Indonesia Papua Barat