Forum Dosen Indonesia

Merupakan organisasi yang didirikan tanggal 24 Agustus 2013, bersifat independen yang tidak terikat langsung dengan institusi anggotanya dan berbasis teknologi informasi. Didirikan dengan maksud melakukan advokasi untuk tujuan pengembangan kualitas dosen dan pendidikan tinggi Indonesia.

Forum Dosen Indonesia di Internet

1) Kuning / Emas : Pendidikan, mencetak generasi emas Indonesia, 2) Biru Langit : Penelitian, seperti langit tanpa batas yg dapat dicapai sebatas kekuatan manusia, 3) Hijau : Pengabdian masyarakat yang lebih bersifat kerelawanan, bekerja demi amal, 4) Merah dan putih : Indonesia.

ORMAS Dosen Indonesia

Berawal dari Grup Dosen Indonesia di Facebook menjadi ORMAS Dosen

Selasa, 31 Juli 2018

BERTANDANG KE PERKAMPUNGAN PEWARIS TRAH SUKU LAUT: Menapak Asa di Garis Pantai Indonesia

Oleh: Irmawati Sagala (UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi)

Pernahkah anda mengenal Suku Laut atau Orang Laut sebagai salah satu suku tua yang hidup di bumi maritim nusantara ini? Dahulunya, suku ini hidup di perahu-perahu sepanjang perairan nusantara dengan kemahiran navigasi dan pengenalan laut yang mumpuni. Pada zaman kesultanan, mereka termasuk “penguasa” di sepanjang jalur perdagangan Selat Malaka, ada yang merompak, tapi kadang menjadi sekutu penting sultan-sultan dalam berbagai keperluan. Namun itu cerita lama. Sekarang, pewaris trah Suku Laut umumnya sudah hidup menetap di tepi pantai atau daerah muara sungai: hidup berdampingan bersama suku-suku lain dengan beberapa warisan tradisi yang masih terpelihara. Di antara suku ini sekarang ada yang dikenal dengan nama Suku Bajo yang umumnya mendiami daerah Sulawesi serta Suku Duano di Jambi, Riau dan Kepulauan Riau.
Ada banyak hal menarik untuk dikenali dalam kehidupan masyarakat Suku Laut, terutama terkait dengan penguatan eksistensi kemaritiman Indonesia. Sebagai bentuk kepedulian terhadap wawasan kemaritiman, di akhir tahun ini Forum Dosen Indonesia (FDI) bekerjasama dengan Universitas Muhammadiyah Sorong akan menggelar konferensi internasional kedua yang bertema maritim, setelah sebelumnya diselenggarakan di Makassar akhir tahun lalu. Menyambut event besar yang akan dihelat di Sorong, Papua Barat ini, Forum Dosen Indonesia (FDI) wilayah Jambi melakukan penelitian kolaboratif, dengan dana mandiri, terkait kehidupan Suku Duano di Desa Tanjung Pasir Kecamatan Tanah Merah, Riau. Sebanyak 15 orang dosen dari beberapa perguruan tinggi di Jambi berangkat ke lokasi pada tanggal 29 Juni - 1 Juli 2018 lalu. Sebenarnya ini adalah perjalanan kedua kami, setelah sebelumnya mengunjungi perkampungan masyarakat Duano di Kuala Tunggal, Jambi.  

Tim sebelum keberangkatan dari Kota Jambi
Terlambat 1 jam dari kesepakatan, tim baru berangkat dari Kota Jambi pada jam 6 pagi, dengan mengendarai 3 mobil. Tiga jam kemudian kami tiba di pelabuhan Kuala Tungkal, Jambi. Setelah menitipkan mobil di rumah kerabat dan istirahat seperlunya, kami menaiki speedboat yang membawa ke Kuala Enok, Riau, yang menjadi basecamp tim. Perjalanan yang dimulai pada jam 11 itu memakan waktu sekitar 45 menit, menyusuri tepian Selat Malaka. Tentu saja speedboat yang beroperasi tidak seperti yang ada di film-film. Moda transportasi ini dimodifikasi sedemikian rupa sehingga memiliki badan mirip boat kecil pada umumnya, dengan tempat duduk kayu bersusun layaknya angkot, namun kecepatannya seperti speedboat asli. Tidak hanya orang dan bagasi kecil, barang-barang berat juga dimuat di dalamnya seperti jerigen berisi bahan bakar, perkakas rumah, bahkan sepeda motor.

Dermaga Kuala Tungkal dan jajaran speedboat




Menaiki kendaraan laut ini disarankan untuk duduk di belakang agar hempasan ombak tak terlalu terasa. Jika duduk di depan, maka bersiap-siaplah terguncang sepanjang pelayaran seperti sedang naik mobil di jalan berlubang-lubang parah. Tapi, inilah seninya berkendara speedboat, uji adrenalin dan ketahanan fisik. Untuk perjalanan ini tiap orang ditarik tarif 50 ribu rupiah. Sayang sekali tidak terlihat adanya persediaan pelampung yang memadai untuk antisipasi musibah. Karena itu, jika ingin mengikuti prosedur keamanan, maka bawalah pelampung pribadi jika akan bertandang ke daerah ini.






Uji adrenalin sebenarnya telah dimulai saat menuruni dermaga menaiki speedboat yang tertambat jauh di tiang-tiang dermaga karena air sedang surut. Perlahan-lahan anggota tim, yang sebagian besar baru pertama kali bepergian ke daerah pesisir itu, menuruni anak tangga kayu lalu berjalan di sela-sela speedboat yang berjajar. Meski diliputi cemas, suasana tim tetap ceria, khas gaya peneliti-peneliti muda dan atau berjiwa muda. Kecepatan beradaptasi para peneliti dengan lingkungan segara tampak di sini. Mulai dari menggunakan toilet darurat, panjat-memanjat, hingga membuang jauh-jauh ingatan bahwa diri tak sedikitpun bisa berenang. Kalau sudah berada di lapangan, pikiran hanya satu: nikmati semua yang ditemui dan pulanglah dengan membawa data memadai. Sebuah kalimat sederhana yang membutuhkan prjuangan untuk mewujudkannya.
Tengah hari, rombongan tiba di rumah kerabat salah seorang tim, langsung disambut dengan hidangan super istimewa, khas masakan pesisir. Sungguh tanpa basa-basi tim yang memang sebagian tak sempat sarapan dari pagi, segera menyantap makanan yang terhidang. Ada ikan, udang, sotong dan sayuran. Luar biasa segar dan nikmat untuk ukuran orang-orang daratan yang jarang betemu makanan laut segar. Seperti sudah menyiapkan wadah yang memadai, sajian penutup pun dilahap dengan seksama. Tampaknya, semangat makan dan meneliti yang dimiliki anggota tim, hanya beda-beda tipis. Untuk semua ini, tim sangat berterima kasih atas sambutan yang sangat hangat dari tuan rumah. Terbayar lunas lelah di perjalanan, dan kantuk pun segera datang merayap. Namun, tim tidak memiliki banyak waktu untuk istirahat, sebab sehabis waktu Ashar sudah diagendakan untuk berbincang dengan salah seorang tokoh Suku Duano setempat.





Diskusi sore itu berjalan penuh semangat hingga menjelang Maghrib. Selain paparan dari narasumber dan diskusi, tim juga merencanakan perjalanan ke Desa Tanjung Pasir yang akan dilakukan pada hari kedua. Diskusi masih dilanjutkan pada malam hari untuk mematangkan desain kegiatan lapangan. Cukup menguras energi. Namun tim kembali patut bersyukur bahwa dukungan tuan rumah sangat luar biasa. Minuman hangat dan camilan lezat tersaji setiap sesinya. Malam pun merangkak naik menyelimuti bumi Kuala Enok. Satu per satu tim mulai tertidur. Tinggallah beberapa orang yang sembari memejamkan mata, mengantisipasi diri agar tidak digigit agas, hewan kecil yang menggigit kulit seperti nyamuk.



Sabtu pagi-pagi, tim sudah siap berangkat ke Desa Tanjung Pasir, yang bisa dicapai dengan menaiki boat alias pompong selama 10 menit. Perjalanan tidak se-heroik kemarin karena perairan yang dilalui hanya menyeberang sungai, tanpa ombak, dan sebentar saja. Karena sudah mulai beradaptasi, kali ini tim sudah bisa bersenda gurau saat naik-turun boat. Suasana kampung khasnya daerah pesisir segera menyambut dengan ramah. Rumah panggung berjajar di tepi jalan desa. Di depan rumah dan tepi-tepi jalan terlihat jemuran lidi nipah, produk lain yang merupakan penghasilan warga selain tangkapan laut. Sesekali terlihat pula jemuran terasi atau ikan asin. Sepanjang jalan, penduduk menyapa dengan ramah. Sarana umum cukup memadai, bahkan Desa juga memiliki sebuah masjid besar yang nyaman untuk kehidupan pesisir pantai. Bahkan, kegiatan nonton bareng piala dunia pun digelar juga oleh warga, dengan menggonakan proyektor. 

Tim di atas boat penyeberangan
Dermaga Desa
Kompleks perkantoran





Produk terasi masyarakat

Tim belajar meraut lidi nipah dan membuat rokok daun nipah

Belajar memotong daun nipah dari pelepah

Menjemur ikan memanfaatkan berbagai fasilitas, tak ketinggalan di parabola :)

Layar proyektor untuk nonton bareng piala dunia, di antara jemuran lidi nipah

Suasana shalat di masjid desa


Toilet masjid
Sesampainya di seberang, tim langsung menuju rumah kepala desa yang biasa disebut masyarakat dengan Pak Wali. Kepala Desa, Kamaluddin, S.H, dan perangkat desa lainnya menyambut tim dengan ramah dan memberikan informasi terkait yang dibutuhkan tim. Setelah itu, tim berpencar sesuai dengan tema penelitian masing-masing, mencari data yang dibutuhkan. Ada yang wawancara, observasi, pengukuran, juga mengambil sampel-sampel yang akan diperiksa di labor. Sepanjang hari tim bekerja. Sayang sekali, kali ini tim tidak sempat ikut manongkah, menangkap kerang dengan metode tradisional khas Suku Duano. Sore hari tim kembali ke Kuala Enok, yang segera dilanjutkan dengan makan sore di pesta kerabat anggota tim lainnya. Sedikit evaluasi dilakukan malam harinya dan dilanjutkan dengan berkemas sebab besok pagi harus segera bertolak kembali ke Kota Jambi. Jadwal perjalanan harus dilakukan pagi hari agar tak bertarung dengan ombak besar saat menyeberang dengan speedboat.

Pak Wali, berbaju kaos merah muda, berdiskusi bersama tim


Foto bersama di depan rumah Pak Wali


Foto bersama di dermaga desa diapit papah tongkah

Lewat tengah hari tim sudah berada kembali di Kota Jambi. Pemeriksaan lanjut, pengolahan data, dan inventarisasi kekurangan data untuk penelitian lanjutan segera menanti. Sebuah proses sedang dijalani dengan kesungguhan, semoga hasilnya nanti memuaskan dahaga keilmuan dan bermanfaat untuk khalayak. Beginilah kami dalam Forum Dosen Indonesia (FDI) menjalani kebersamaan. #
                     

Rabu, 11 Juli 2018

Pena, Kapak dan Tongkah: Sebuah Pilihan Jalan Hidup Pemuda di Desa Suku Duano



Oleh: Irma Sagala



Kamal, demikian sapaan akrab Pak Wali (kepala desa) Desa Tanjung Pasir atau yang lebih dikenal dengan nama Sungai Rumah. Seorang tetangga membantu mengetuk pintu rumah beliau saat saya bersama 13 rekan lainnya tiba di depan rumah untuk meminta izin riset di desanya. Rumah papan beratap daun nipah itu tampak seperti rumah warga kebanyakan. Di pelataran rumah yang menyatu dengan jalan desa, teronggok daun nipah yang siap diraut untuk diambil lidinya. Sembari menunggu Pak Wali keluar, saya pun menyempatkan meraut beberapa lidi, mencoba melakoni keseharian masyarakat Duano di desa ini. Lidi nipah adalah salah satu sumber mata pencaharian warga desa yang dibeli oleh pengumpul untuk dijual ke pedagang India itu dihargai 6 ribuan rupiah per kilogramnya.
Sosok yang keluar dari pintu rumah itu di luar perkiraan saya yang semula membayangkan Pak Wali adalah orang tua paruh baya yang kharismatik dan bernuansa adat. Salah! Pak Wali adalah anak muda berusia 34 tahun, dengan tampilan trendy dan humble. Kami segera dipersilahkan masuk dan perbincangan pun dimulai dengan akrab. Hari itu, Sabtu tanggal 30 Juni, rombongan dosen dari Jambi yang bergabung dalam Forum Dosen Indonesia (FDI) daerah Jambi dan CED UIN STS Jambi melalukan penelitian tentang Suku Duano, atau dikenal juga dengan istilah Orang Laut, di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau.

Gambar: Perjalanan tim peneliti menyeberang dari basecamp di Kuala Enok ke Tanjung Pasir

Gambar: Perkampuangan Suku Duano di Desa Tanjung Pasir
Setelah perkenalan singkat dari kami, Pak Wali mulai bercerita tentang latar belakang beliau dan masyarakat Duano khususnya yang tinggal di desa yang beliau pimpin saat ini. Salah satu kisah yang paling menarik adalah tentang pendidikan anak-anak Suku Duano. Ya, pendidikan adalah gerbang menuju perubahan dan kemajuan. Sayangnya, akses masyarakat Duano terhadap pendidikan masih rendah, baik disebabkan oleh faktor ekonomi maupun masih lemahnya motivasi mereka. Maka, kisah Pak Wali pun menjadi cermin mengesankan tentang bagaimana kisah pendidikan anak-anak Suku Duano.

Gambar: Berbincang dengan Pak Wali (berbaju kaos krah merah) di rumah beliau

Seperti kebanyakan anak-anak lainnya, Kamal kecil tak pernah memiliki cita-cita untuk sekolah tinggi. Kamal yang lahir dari pasangan campuran, Bapak suku Melayu dan Ibu suku Duano, memasuki sekolah dasar lebih seperti sebuah kelaziman usia dan dorongan orang tua. Syukurlah, ada SD di desa mereka sehingga sekolah bisa berjalan lancar. Perjuangan sekolah mulai dirasakan ketika memasuki jenjang SMP di mana harus bersekolah ke desa sebelah yang harus dicapai dengan menompang perahu penyeberangan setiap harinya. Kamal kecil sempat berniat berhenti sekolah karena merasa beratnya perjuangan sekolah seorang diri dari kampungnya, untuk sesuatu yang bahkan tak cukup dia mengerti ujungnya.

Agenda ke Depan

Agenda ke Depan