Jumat, 31 Januari 2020

Menanti Arahan Haluan Pendidikan Bangsa

Oleh: Ismail Suardi Wekke, Ph.D*
Seratus hari berlalu sejak Kabinet Indonesia Maju sudah ditabalkan. Kita masih saja menanti “kemana arah pendidikan bangsa hendak dibawa?”. Setelah eksperimen lima tahun di 2014-2019 tidak lagi dilakukan, pemisahan antara pendidikan dasar dan menengah dengan pendidikan tinggi.

Sekarang secara administratif justru diwujudkan eksperimen baru, fungsi riset pendidikan tinggi diiplementasikan melalui Kementerian Riset dan Teknologi, sementara fungsi dua dharma lainnya dikoordinir Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. “Akankah perjalanan bangsa kita berlangsung dengan eksperimen dari kabinet ke kabinet?”.

Sebelum itu, kami hendak mengajak pembaca untuk menengok posisi pendidikan Indonesia dalam konteks bangsa. Pendidikan Indonesia diprakarsai oleh lembaga pendidikan keagamaan. Di masyarakat muslim, Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Persatuan Islam, Mathlaul Anwar, Tarbiyah Islamiyah, Darul Da’wah Wal Irsyad, Al Khairat, As’adiyah.

Sementara di masyarakat Katolik ada Atmajaya, Sanata Dharma, Charitas, Xaverius, Kanisius, De Britto, Pangudi Luhur. Juga di masyarakat Kristen terdapat Penabur, Huria, Eben Haizer, Duta Wacana, Immanuel, Petra.

Baik Masjid maupun Gereja, juga Pura bersama-sama menginisiasi lembaga pendidikan. Bahkan sebelum ada label negeri dalam sebuah intitusi pendidikan. Lembaga pendidikan yang dikelola masyarakat sudah lebih awal wujud bahkan tanpa pendanaan dari negara yang saat itu bahkan belum terlembagakan. Justru lembaga pendidikan keagamanlah yang menopang berdirinya negara kita.

Secara khusus, artikel kami menguraikan lembaga pendidikan Islam. Bukan berarti bahwa lembaga pendidikan keagamaan yang dikelola oleh masyarakat lain tidak berarti, tetapi kami yang tidak arif dalam kajian tersebut.

Lembaga pendidikan seperti Gontor, mampu bertahan sampai sekarang sejak 1926. Apa yang menjadi daya dukung? Diantaranya, Panca Jiwa pondok yang menjadi bagian dari “doktrin” pembelajaran. Bisajadi kita menyebutnya dengan istilah Pendidikan Karakter. Sejak awal pendirian sampai sekarang, doktrin itu tidak pernah berubah. Berarti dalam pendidikan perlu ada konsistensi. Bukan dengan uji coba semata. Untuk sebuah minyak angin saja tidak memungkinkan coba-coba, apalagi untuk pendidikan.

Tidak hanya di Gontor, lembaga pendidikan Islam tersebar di Tebuireng, Denanyar, Guluk-guluk, Kprayak, Mangkoso, Sengkang, Padang Panjang, Tamalanrea, Kombos. Sementara YAPIS di Tanah Papua tidak saja untuk masyarakat muslim tetapi bahkan warga Protestan dan Katolik juga turut bergabung di dalamnya. Lembaga pendidikan inilah yang justru menjadi institusi pendidikan dimana tidak semua anak bangsa dapat ditampung di pendidikan negeri.

Dengan demikian, ketika mendiskusikan pendidikan bangsa ini, pendidikan swasta, dan pendidikan keagamaan tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Sementara kementerian hanya berkutat pada pendidikan negeri semata. Lembaga Pendidikan tersebut bukan hanya fasilitator untuk keperluan administrasi Pendidikan semata, bahkan melampaui tugas Pendidikan. Lembaga berkenaan bahkan juga menjadi perekat harmoni kebangsaan.

Sementara Al Khairaat di Palu dan Nahdhatul Wathan di Lombok, ketika bencana melanda menjadi bagian masyarakat untuk penanggulangan bencana. Lembaga Pendidikan tidak berkutat di kelas semata tetapi juga memainkan peranan dalam mitigasi bencana dan juga proses recovery baik fisik maupun psikis.

Pendidikan bukan soal bekerja saja, tetapi menghubungkan antara pengalaman belajar dengan kehidupan nyata. Sehingga apa yang dipelajari di bangku sekolah, juga berasal realitas sehari-hari. Masyarakat yang berada di pesisir, tentu lebih memerlukan sekolah kejuruan dalam bidang perikanan dan kelautan, dan bukannya justru kejuruan dalam bidang pertanian. Jikalau terjadi ketidaksesuaian antara kehidupan nyata dengan pembahasan pelajaran di sekolah, itulah yang menjadi awal dari masalah pendidikan kita.

Slogan “link and match” sesungguhnya berada di sini, bukannya justru apa yang dipelajari hanya semata-mata perlu dikaitkan dengan kebutuhan industri semata. Kemampuan lulusan sekolah untuk hidup di masyarakatnya sendiri lebih diperlukan berbanding menyiapkan pekerja untuk diserap lapangan kerja. Padahal, bisajadi lapangan kerja yang ada, justru sudah berubah dengan materi yang diajarkan ketika proses pembelajaran sementara dilaksanakan.

Pendidikan berubah bukan pada kurikulum. Tetapi menymakan persepsi dalam rangka menghadapi tantangan zaman yang berubaha sesuai dengan keadaan zaman itu. Agenda kebangsaan juga mengalami dinamika sesuai dengan keadaan bangsa dan tantangan global yang senantiasa melingkupi.

Satu hal lagi, media pendidikan bisa saja berubah. Bahkan jargon 4.0 mulai digunakan sebagai bagian dari pidato para pejabat dan juga tema seminar. Namun, di balik itu pendidikan tetap seperti itu adanya sampai kiamat. Pendidikan sejatinya merupakan bagian kehidupan itu sendiri. Perabot boleh berbeda tetapi sikap manusia tetap saja sama.

Mari sejenak kita melihat masyarakat pesantren. Zaman berubah, teknologi berkembang, dan juga industri mengalami revolusi. Namun, sikap pesantren terhadap teknologi dan semua perubahan itu tetap saja sama. Menjadikan itu semua sebagai benda atau “keduniawiaan”, sehingga tidak menuhankan benda. Materi dianggap sebagai jalan kedekatan menuju Allah. Bukan justru mempertuhankan benda dan menyingkirkan manusia dari hati.

Pesantren merupakan Lembaga Pendidikan Indonesia yang justru tumbuh dari Rahim Indonesia itu sendiri. Sekali lagi kami menyebut Gontor. Ketika diasaskan, Gontor melakukan benchmark terhadap empat Lembaga yaitu Al-Azhar (Mesir), Syanggit (Mauritania), Aligarh (India), dan Santiniketan (India). Keempat Lembaga tersebut dengan kekhasan masing-masing dijadikan sebagai acuan dan diadaptsi ke dalam budaya Indonesia sendiri.

Studi kasus Gontor ini memberikan pesan bahwa sebuah Lembaga Pendidikan juga terkait dengan gagasan dan cita-cita pendiri. Begitu pulalah Indonesia, negara ini didirikan dengan cita-cita para pendiri bangsa. Salah satunya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka, Pendidikan kita perlu diarahkan untuk itu. Bukan hanya untuk menjadi pekerja industri.

Pendidikan Indonesia, tidak harus menjadikan satu-satunya tolok ukur seperti PISA ataupun urusan rangking lainnya. Demikian pula perguruan tinggi yang tak harus mengikuti perlombaan rangking. Kalaupun itu dipandang perlu sebagai bentuk ikhtiar untuk mendudukkan perguruan tinggi Indonesia bersanding dengan perguruan tinggi lain secara global, maka cukup dengan mandate yag diperluas. Tak perlu semuanya harus mengikuti perangkingan. Jika world class university menjadi satu acuan, ada acuan lain yang dapat digunakan seperti community based university, ataupun entrepreneur university. Model perguruan tinggi bukanlah tunggal hanya dengan perguruan tinggi riset. Model pilihan itu tentu untuk memenuhi keperluan masyarakat. Bukan untuk memuaskan keperluan masyarakat lain.

Sebagaimana penataan Kawasan ataupun kota bukanlah semata-mata untuk destinasi wisatawan. Bagian yang paling penting justru supaya penduduk dan masyarakat nyaman di kotanya sendiri. Bukan dengan menyiapkan kota itu untuk didatangi oleh orang lain dan tidak mempertimbangkan masyarakat sendiri sebagai penduduk. Ketika itu nyaman untuk warganya sendiri, maka pengunjungpun tentu akan nyaman.

Akhirnya, inilah yang menjadi ketidakpahaman kami jika ada suara yang menginginkan untuk berkiblat ke negara lain. Pertanyaan kami adalah “kenapa pula takjub dengan pendidikan luar negara, sementara kehidupan mereka justru berbeda sama sekali dengan pendidikan Indonesia?”.

Pendidikan perlu mengakar kepada keperluan masyarakat dan untuk keperluan masyarakat Indonesia sendiri. Bukan dengan takjub melihat pendidikan negara lain dan kemudian Pendidikan kita terasing di masyarakatnya sendiri. Jika itu terjadi, maka Pendidikan tak lagi menjadi sarana kehidupan tetapi justru menjadi mimpi buruk. Semoga itu tidak terjadi.*

*Ismail Suardi Wekke, Ph.D, 
Ketua DPD Forum Dosen Indonesia Papua Barat

Agenda ke Depan

Agenda ke Depan