Oleh: Issy Yuliasri (Universitas Negeri Semarang)
Kita umumnya memiliki kepercayaan bahwa budaya kita adalah budaya yang
ramah tamah dan banyak basa-basi, dan saya sepakat. Terutama pada masyarakat
Jawa yang merupakan lingkungan hidup saya; pada masyarakat Jawa, memang tidak
semua hal harus diungkapkan secara terus terang. Ketidakterusterangan dan basa-basi biasanya bertujuan
untuk menjaga muka lawan bicara kita. Begitulah… tradisi tepa selira, menjaga muka, dan basa-basi sudah biasa dilakukan
untuk menjaga harmoni dalam interaksi sehari-hari. Tentu saja kadar ‘kehalusan’ basa-basi itu sendiri bersifat
relatif, dan berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Basa-basi pada
masyarakat Jawa di daerah yang dekat dengan keraton tentu lebih njelimetdaripada masyarakat pesisiran.
Sementara masyarakat pesisiran, seperti Tegal, cenderung lebih blak-blakan dan
tidak terlalu banyak basa-basi. Bagaimana dengan tradisi Barat?Secara umum,
masyarakat Barat lebih direct daripada
masyarakat Indonesia. Bahkan
ada pepatah yang menggambarkan budaya terus terang ini, yang berbunyi ‘say what you mean, and mean what you say’. Dengan pemahaman bahwa masyarakat Barat lebih
direct, sebagian dari kita lalu
barangkali beranggapan bahwa dalam komunikasi sosial pun mereka cenderung direct dan tanpa basa-basi. Benarkah
demikian?
Pendapat bahwa masyarakat Barat, dalam tulisan ini
saya batasi masyarakat penutur jati Bahasa Inggris, tidak memiliki basa-basi,
tidaklah benar. Dalam interaksi sosial,
banyak basa-basi dan etika yang perlu diikuti ketika berkomunikasi dengan
bahasa Inggris, khususnya ketika melakukan interpersonal
communication (berkomunikasi untuk tujuan menjaga hubungan baik antar
pribadi). Komponen dalam percakapan pun lebih sophisticated daripada basa-basi dalam budaya tutur bahasa
Indonesia. Misalnya, dalam budaya bahasa
Inggris percakapan terdiri dari bagian opening,
pre-closing, dan closing yang
mengandung banyak exchanges atau
oper-operan tuturan yang kompleks. Sebagai contoh, permulaan percakapan (opening) bisa dilakukan dengan greeting seperti hello, (good) morning, hi, diikuti pertanyaan basa-basisemacam how are you? how’s life? How’s everything?atau
how was your weekend? (ketika bertemu
di hari Senin), how was your trip? (kepada
seseorang yang baru tiba dari suatu perjalanan), how was your holiday? (sehabis liburan), atau how do you do? (kepada yang baru
kenal/bertemu). Sebagian ungkapan
tersebut ada padanannya, namun sebagian lainnya tidak ada padanannya dalam
bahasa Indonesia. Ini menunjukkan
‘kekayaan’ basa-basi dalam bahasa Inggris. Bahkan, untuk mengucapkan salam di
kalangan terbatas antar lelaki, dalam lingkungan terbatas tertentu dalam
suasana yang sangat tidak formal, misal di pub
atau di arena olah raga, ada
ungkapan khusus bagi sesama lelaki, khususnya di Australia, yaitu ungkapan
semacam ‘how’s it hanging?’. Ungkapan
ini tentu tidak pernah diucapkan kepada wanita, karena kata ‘it’ dalam ungkapan tersebut memiliki
konotasi genital lelaki, walau makna keseluruhan ungkapan adalah ‘apa kabar?’. Lagi pula, ungkapan ini juga tidak patut
diucapkan oleh/kepada kalangan terdidik.
Mengapa saya katakana bahwa ugkapan basa-basi pembuka
percakapan dalam bahasa Inggris itu kaya? Karena, dalam bahasa Indonesia,
sebagai padanan greeting, kita hanya
punya ungkapan ‘selamat pagi/siang/sore/malam’ atau mungkin ‘assalamu’alaikum’ bagi sesama muslim.
Bahkan,dengan teman yang sudah dekat kita biasanya tidak merasa perlu mengawali
percakapan dengan mengucapkan salam.
Kita pun tidak biasanya meneruskan dengan basa-basi lanjutan semacam
‘bagaimana akhir minggumu?’, atau ‘bagaimana liburanmu?’, atau ‘bagaimana
perjalanan anda tadi?’. Karena, kalaupun muncul, pertanyaan itu adalah
pertanyaan informasi, yaitu pertanyaan yang memerlukan jawaban sesungguhnya
dikarenakan penutur ingin tahu, karena perhatian. Sedangkan dalam bahasa Inggris, pertanyaan-pertanyaan
tersebut merupakan bagian dari basa-basi, bukan pertanyaan yang genuine dan tidak memerlukan jawaban
yang genuine pula. Dengan demikian, pertanyaan ‘how are you?’ tidak perlu dijawab dengan
penjelasan kondisi kesehatan kita, misal kita sedang mulas; walaupun kita
sedang mulas, cukup jawab dengan ‘fine,
thanks’ atau ‘not so bad, thanks’
dan sejenisnya. Saya jadi teringat, di
suatu presentasi di seminar internasional seorang dosen Pragmatics dari
Australia mempresentasikan hasil penelitiannya tentang tindak tutur bahasa
Inggris mahasiswa asing (dari negara non-penutur jati bahasa Inggris, termasuk
Indonesia). Dalam presentasinya antara
lain digambarkan bagaimana seorang mahasiswa dari Indonesia ketika di kasir supermarketakan membayar dan ditanya ‘how are you?’ oleh kasir, menjawab
dengan ‘I have a headache’. Sementara si kasir, tidak berekspektasi
mendengar jawaban yang tidak biasa (karena basa-basi ‘apa kabar’ merupakan
prosedur standar rutinitas pelayanan), menimpalinya dengan jawaban ‘good!’…seolah-olah mensyukuri bahwa si
mahasiswa sakit kepala (padahal karena tidak mendengar apa yang diucapkan si
mahasiswa, dan karena lazimnya jawaban cukup ‘fine, thanks!’, atau ‘good,
thanks!’ dan sejenisnya). Ini
tentunya merupakan contoh kecil saja dari kejadian lucu yang bisa terjadi
karena tidak tahu basa-basi.
Kekayaan atau kompleksitas basa-basi dalam bahasa
Inggris itu juga tercermin dari ungkapan yang lazimnya muncul dalam percakapan
awal ketika berkenalan atau pertama kali bertemu dengan orang baru. Lazimnya
ada ungkapan ‘how do you do?’
(semacam ‘hello’ dan tidak ada
padanannya dalam bahasa Indonesia), atau ‘nice
to meet you’, atau ‘it’s a pleasure
meeting you’, atau ‘good to meet you’
(dalam suasanan yang tidak formal dan sangat akrab bisa juga cukup dengan ‘hi’), dan sejenisnya, yang dalam budaya
tutur bahasa Indonesia tidak ada.
Dalambudaya kita, rasanya terlalu artificial
dan tidak lazim bila kita berkenalan dengan seseorang lalu kita mengatakan
‘senang sekali berkenalan dengan Bapak’ dan sejenisnya.
Selain basa-basi mengawali percakapan atau opening, ada basa-basi pre-closing, yakni ketika menjelang
mengakhiri percakapan. Contohnya, ketika akan mengakhiri percakapan dengan
orang yang baru berkenalan tadi, biasanya ada basa-basi yang mengungkapkan
bahwa kita tadi senang berkenalan dengan mitra tutur kita, dengan ungkapan
seperti ‘it was nice meeting you’ dan
sejenisnya. Perhatikan bahwa pada saat ini kita menggunakan ‘was’, sedangkan pada awal perkenalan
kita menggunakan ‘is’ yang lazimnya
disingkat atau dihilangkan bersama subjeknya (‘it’s nice meeting you’, atau ‘it’s
nice to meet you’ atau ‘nice to meet you’). Bila percakapannya berlangsung
dengan orang yang sudah kita kenal, basa-basi pre-closingnya antara lain seperti contoh berikut: ‘it was nice seeing you again’. ‘it was nice talking to you’ dan
sejenisnya. Bedakan bahwa ketika pertama kali bertemu/berkenalan kita
menggunakan kata ‘meet’ sedangkan
bila kita sudah kenal kita menggunakan ‘see’,
karena ‘meet’ di sini lebih bermakna
‘berkenalan’ sedangkan ‘see’ bermakna
‘berjumpa’. Jadi, bila kita sedang asyik
bercakap-cakap, lalu teringat bahwa kita harus segera berhenti bercakap-cakap
karena ada acara lain, maka kita bisa mengatakan misalnya ‘it was nice meeting
you, Dave, but I have to go’, atau ‘it was nice talking to you, John, but I
have things to catch up’, dan sejenisnya. Serupa dengan contoh sebelumnya di
atas, dalam budaya kita juga akan terasa aneh atau berlebihan apabila kita
hendak mengakhiri suatu percakapan lalu mengucapkan ‘tadi senang sekali
berkenalan dengan Anda’, atau ‘senang sekali jumpa denganmu lagi tadi ini’, dan
seterusnya.Dalam budaya kita, basa-basi dalam pre-closingsangat minimal; tidak ada ucapan ‘senang tadi berbicara
dengan Anda’ dan sejenisnya. Biasanya, kita akan langsung menyebutkan keperluan
kita, misalnya ‘maaf saya ada acara lain’ dan sejenisnya. Saya teringat
kejadian di tahun 1993 ketika di Australia. Salah satu host dari peserta pertukaran pemuda mengundang seluruh peserta
pertukaran pemuda dari Indonesia yang berjumlah 26 orang untuk pesta barbeque. Selesai berpesta, sekitar jam
22.00 malam, mereka semua pulang, mengucapkan ‘thank you’ dan ‘goodbye’
dan…blas!!! semua pulang. Tuan rumah
yang asli Australia, bersama dengan tamu-tamu Australia lainnya,
terbengong-bengong kaget. Mungkin karena kepergian pemuda-pemudi Indonesia ini
terasa tiba-tiba; sehabis bermain gitar, menyanyi-nyanyi, berbicara-bicara, dan
makan-makan, lalu langsung bubar!
Barangkali ini kebiasaan yang terbawa dari budaya kita, cukup mengatakan
‘pulang dulu ya?’ dan sejenisnya, tanpa ada basa-basipre-closing. Dalam acara undangan makan, basa-basi dalam budaya
tutur bahasa Inggris adalah mengungkapkan pujian atas sajian makannya, selain
berterimakasih. Jadi, ketika sedang menikmati
makan, biasanya ada ungkapan semacam ‘the soup is so nice’, atau ‘it’s
beautiful’, atau ‘hm..it’s delicious’ atau ‘it’s so good’, atau ‘it’s great’
dan sejenisnya, dan ketika kita selesai acara dan sebelum berpamitan, biasanya
perlu mengulang dengan mengatakan ‘the dinner was beautiful, Anne. Thank you’
dan sejenisnya (perhatikan penggunaan ‘was’).
Setelah melalui tahap pre-closing, barulah percakapan diakhiri dengan closing, yaitu dengan ucapan ‘goodbye’, ‘see you’, dan sejenisnya.
Jadi, bila kita amati, dalam komunikasi interpersonal, budaya tutur
bahasa Inggris memiliki banyak basa-basi, walaupun secara umum budaya Barat
lebih direct daripada budaya
Indonesia. Karena itu, bila kita
terlibat dalam komunikasi di kancah internasional, ada
baiknya memperhatikan aspek basa-basi ini, agar komunikasi terjalin nyaman.