|
Oleh: Ismail Suardi Wekke* |
Sekelompok anak-anak pulang sekolah,
baju merah putihnya dilepas dan dilempar ke atas batu. Tas sekolahpun disimpan di
atas bebatuan. Siang itu terik. Mereka langsung loncat ke laut. Bermain,
tertawa, dan kemudian saling mengejar.
Cita-citanya tak tinggi. Hanya
membayangkan menjadi nelayan saja. Menggantikan ayahnya suatu saat nanti ketika
sudah menua. Menyiapkan bahan makanan bagi keluarga, dan ikut menemani ibunda
tercinta sesekali di dapur. Sembari bercerita tentang laut. ketika bayangan tentang dunia hanya terlintas ketika
bertemu dengan wisatawan mancanegara yang melangkah ke Raja Ampat. Setelah itu,
kembali asyik dengan dunianya sendiri.
Dunia dimana alam menjadi tempat
bermain. Tidak perlu pusat pembelanjaan yang menjadi tempat untuk bermain.
Perjalanan ke sekolah cukup dengan jalan kaki. Bahkan alampun menjadi kelas,
ruangan sekolah berbagi dengan kelompok belajar lain secara bergantian.
Sekolahpun tidak memerlukan komputer sebagai media pembelajaran. Guru tidak
menceritakan tentang cendrawasih tetapi menunjukkan langsung sosok burung itu.
Itu gambaran sekilas anak-anak di kampung
Saporkren, Raja Ampat, Papua Barat. Kalau tinggal di tepi laut, ya kemampuan
berenang perlu dilatihkan sejak kecil. Bahkan bagi suku Bajo yang tinggal lebih
banyak di laut, sejak masih orok sudah diceburkan ke laut.
Pendidikan sejatinya bagaimana
seorang individu beradaptasi dengan lingkungan. Tak perlulah saya cerita
tentang orang lain. Saya cerita diri saya sendiri. Pendidikan telah
mengasingkan saya dari lingkungan sendiri.
Lahir di perbukitan Camba, Sulawesi
Selatan. Dikelilingi sawah dan kebun kemiri. Tetapi karena menempuh Pendidikan
sampai ke kota, akhirnya tak pulang kampung dan justru tidak bisa hidup di
kampung. Pekerjaan yang ditekuni tidak ada urusannya di kampung.
Demikian pula anak-anak yang
berenang tadi. Ketika mereka memasuki usia pendidikan sekolah menengah, harus
meninggalkan kampung halaman. Berpindah ke pulau lain untuk mengeyam pelajaran
sekolah menengah sampai pada Pendidikan tinggi. Mereka akan mengalami
pergantian alam dan justru hidup di perkotaan dengan budayanya sendiri.
Kehangatan keluarga dan kerabat harus ditinggalkan demi selembar ijazah yang
menjadi syarat untuk pekerjaan. Hidup di asrama atau bahkan di kontrakan, demi
harapan masa depan.
Jangan sampai pendidikan kita akan
mengasingkan murid dari lingkungannya. Walau tetap diperlukan penguasaan
teknologi tetapi bukan berarti konsumen teknologi. Maka, dalam konteks
kemasyarakatan Pendidikan pesantren senantiasa berusaha relevan dengan
kebutuhan masyarakat.
***
Bagi masyarakat Finlandia,
Pendidikan terbaik bagi mereka tersedia di Finlandia. Sekolah dan lembaga
pendidikan akan menautkan pengalaman belajar dengan lingkungan yang didiami.
Institusi pendidikan menjadi pertemuan belajar dengan lingkungan yang menjadi
tempat tinggal murid.
Selain itu pendidikan justru menjadi
peluang untuk menyadarkan pelajar akan aspirasi lingkungan. Kita bisa
menyaksikan Indonesia hadir hari ini sepenuhnya karena kesadaran para pelajar
yang berlayar jauh ke negeri Belanda. Di masa mereka belajar, justru menyerap
ide-ide pembebasan bangsa dari penjajahan Belanda.
Sekembalinya ke tanah air,
pengalaman belajar yang diperoleh justru menjadi daya dukung untuk mengusahakan
proklamasi. Akhirnya, kita menikmati kewujudan Indonesia sampai saat ini.
Semuanya itu salah satunya dimulai dari bangku Pendidikan.
Pesantren As’adiyah di Sengkang,
Sulawesi Selatan, mewajibkan alumninya untuk mengabdi di masyarakat selama
setahun usai lulus dari jenjang Aliyah. Bahkan, setiap Ramadhan santri-santri
disebar ke pelbagai wilayah sampai ke luar pulau Sulawesi untuk menjadi pelayan
umat melalui tugas imam masjid dan juga ceramah. Begitu pula mengajar di
madrasah diniyah.
Dari dua studi kasus ini menunjukkan
sekali lagi bahwa Pendidikan merupakan instrumen masyarakat. Jangan sampai apa
yang menjadi materi belajar di sekolah justru sama sekali tidak berhubungkait
dengan kehidupan itu sendiri.
Manusia seperti burung. Tempat
terbaik bagi burung adalah sarangnya sendiri. Bukan sarang burung lain. Pepatah
memesankan “setinggi-tinggi burung kembali ke sarangnya jua”. Begitulah
manusia, kemanapun pergi selalu terpaut hatinya dengan rumahnya sendiri. Maka,
seorang murid keterpautan dengan lingkungannya yang merupakan “sarang”, itulah
yang perlu diperkenalkan sejak dini. Bukan mengenalkan “sarang” orang lain.
Belanda mewajibkan setiap murid
untuk terampil berenang. Bahkan ada uji kompetensi itu di sekolah dasar. Misal
ini bukan tentang Belanda melainkan terkait dengan lingkungan. Negara Belanda
dikelilingi oleh sungai-sungai. Ketika seorang warga tidak bisa berenang,
bisajadi akan ada kasus kematian yang terjadi karena ketidakmampuan berenang.
Maka, diwajibkanlah kemampuan berenang itu untuk dikuasai setiap warga sejak
anak-anak sekalipun. Termasuk kepada
orang asing yang juga belajar di Belanda pada tingkatan sekolah dasar.
***
Lalu apa yang dapat kita lakukan?.
Tindakan yang diperlukan adalah menghubungkan pengalaman belajar dengan
keperluan lingkungan. Anak di daerah pesisir, perlu dilatih untuk mengenal
ikan, termasuk bagaimana menjaga lingkungan perairan.
Begitu
pula dengan kearifan lokal perlu diperkenalkan sejak dini melalui institusi
Pendidikan. Seperti sasi di masyarakat Papua. Sasi merupakan tradisi berpantang
untuk mengambil sesuatu dari alam. Baik berpantang dalam komoditas tertentu
atau Kawasan tertentu dalam jangka waktu yang disepakati.
Bisa jadi,
masyarakat pesisir Raja Ampat belum sampai ke revolusi industri 4.0. mereka
bahkan masih menantikan listrik ataupun signal telepon, dan juga koneksi
internet. Dalam konteks ini, mereka tidak memerlukan pidato tentang 4.0. Tetapi
tetap bahagia dengan ketiadaan listrik. Walau belajar di malam hari kadang
ditemani dengan temaram lilin saja.
Institusi
Pendidikan melalui guru, perlu didorong untuk mengembangkan pendidikan sesuai
dengan lingkungan masing-masing murid. Tidak harus sama dengan pulau lain,
dimana alam dan lingkunganya yang juga berbeda. Termasuk bahan bacaan yang juga
perlu didorong untuk diterbitkan secara regional. Tidak harus bacaan dari
Jakarta dikirim ke Papua, dimana minat cerita yang tentu saja berbeda. Guru
dilatih dan diberi kesempatan untuk menuangkan ceritanya sendiri ke buku yang
akan dijadikan sebagai materi belajar.
Dinas
Pendidikan yang juga mengemban kebudayaan diberi kesempatan memproduksi film
dengan kerjasama swasta. Film-film yang dijadikan bahan ajar tidak harus
bernuansa ibukota. Setiap pulau perlu memproduksi filmya sendiri-sendiri. Itu
pulalah yang menjadi percakapan warga. Tak harus film seperti “Ada Apa dengan
Cinta” yang menjadi percakapan bersama dari Merauke ke Sabang. Sesorongnya,
produksi film beragam sebagaimana kebinekaan Indonesia.
Demikian
pula soal lagu. Tak harus semuanya menyanyikan lagu Korea ataupun menggemari
K-Pop. Koleksi lagu Indonesia yang berasal dari semua daerah, tidak kekurangan.
Maka, mengenalkan dan mempromosikan lagu-lagu daerah sama bagusnya dengan
mengenalkan lagu berbahasa asing. Begitu juga dengan lomba pidato bahasa
Inggris, tetap penting. Sama pentingnya dengan lomba pidato bahasa daerah,
sebagai contoh lomba pidato Bahasa Bugis bagi sekolah-sekolah di wilayah yang
berbahasa Bugis.
Satu
pertanyaan sebagai akhir. “Dapatkah manusia bisa hidup tanpa mengenal
teknologi?” bisa saja. Kita bisa menyaksikan masyarakat Badui, begitu pula
masyarakat Kajang. Keduanya memilih untuk tidak menggunakan teknologi. Hanya
sepenuhnya hidup dengan menjaga kelestarian alam. Bukan menjauhi, tetapi
memilih untuk menggunakan sekadarnya. Mereka tetap saja Bahagia dan bahkan
tetap menikmati kehidupan ini.
Maka,
teknologi bukan segalanya. Mengajarkan penggunaan teknologi bukanlah pelajaran
wajib dalam hidup. Kewajiban setiap murid justu terletak pada bagaimana menjaga
relasi dirinya dengan alam yang menjadi wujud dari hadirnya Allah. Ketika
manusia mengenal alam, maka itu bagian dari usaha untuk mengenal Allah. Menjaga
alam sesungguhnya menjaga kehidupan itu sendiri. Itulah yang menjadi tugas
utama dan pertama Pendidikan. *
Ismail Suardi Wekke, Ketua DPD FDI Papua Barat.