Forum Dosen Indonesia

Merupakan organisasi yang didirikan tanggal 24 Agustus 2013, bersifat independen yang tidak terikat langsung dengan institusi anggotanya dan berbasis teknologi informasi. Didirikan dengan maksud melakukan advokasi untuk tujuan pengembangan kualitas dosen dan pendidikan tinggi Indonesia.

Forum Dosen Indonesia di Internet

1) Kuning / Emas : Pendidikan, mencetak generasi emas Indonesia, 2) Biru Langit : Penelitian, seperti langit tanpa batas yg dapat dicapai sebatas kekuatan manusia, 3) Hijau : Pengabdian masyarakat yang lebih bersifat kerelawanan, bekerja demi amal, 4) Merah dan putih : Indonesia.

ORMAS Dosen Indonesia

Berawal dari Grup Dosen Indonesia di Facebook menjadi ORMAS Dosen

Jumat, 28 Februari 2020

FDI Gelar Workshop Blended Learning


Forum Dosen Indonesia menggelar "Workshop Blended Learning Model Sinkron dan Asinkron" bertempat di Ruang Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Tangerang Selatan (28/2) dengan pembicara Dr. Djadja Achmad Sarjana, ST, MM.

Acara dihadiri oleh 50-an peserta dari berbagai kampus di Jakarta dan sekitarnya yang mengikuti acara penuh antusias. Acara dibuka oleh Wakil Dekan FSH UIN Jakarta Dr. Syahrul A'dam dan sambutan oleh Ketua FDI Jakarta Dr. Khamami Zada dan Sekjen FDI Yanuardi Syukur mewakili Ketua FDI Dr Irma Sagala.

Sebelum masuk materi, acara diisi dengan penandatanganan Perjanjian Kerja Sama antara FDI dengan FSH UIN dalam tridharma perguruan tinggi.

Pelatihan ini dirasakan sangat penting oleh peserta karena mereka dapat memadukan pembelajaran offline dan online menggunakan server fdi.kuliahdaring.id.

Berkas Perjanjian Kerja Sama FDI-FSH UIN Jakarta

Acara juga dibarengi dengan praktik kuliah daring. Menurut Dr. Djaja, metode blended learning sangat membantu para dosen dan mahasiswa, karena mereka dapat belajar dari handphone masing-masing.

Selain itu, mahasiswa juga bisa menjadi presenter atau berkomentar secara live. Hal ini berbeda dengan platform lainnya yang hanya bisa satu arah.

Menutup materinya, Dr. Djadja mengatakan bahwa "sekolah adalah tempat yang menyenangkan." Maka, metode pembelajarannya juga harus diusahakan menyenangkan.

Jumat, 21 Februari 2020

Pendidikan Jiwa Bangsa

Oleh: Ismail Suardi Wekke*
Sekelompok anak-anak pulang sekolah, baju merah putihnya dilepas dan dilempar ke atas batu. Tas sekolahpun disimpan di atas bebatuan. Siang itu terik. Mereka langsung loncat ke laut. Bermain, tertawa, dan kemudian saling mengejar.

Cita-citanya tak tinggi. Hanya membayangkan menjadi nelayan saja. Menggantikan ayahnya suatu saat nanti ketika sudah menua. Menyiapkan bahan makanan bagi keluarga, dan ikut menemani ibunda tercinta sesekali di dapur. Sembari bercerita tentang laut. ketika bayangan tentang dunia hanya terlintas ketika bertemu dengan wisatawan mancanegara yang melangkah ke Raja Ampat. Setelah itu, kembali asyik dengan dunianya sendiri.

Dunia dimana alam menjadi tempat bermain. Tidak perlu pusat pembelanjaan yang menjadi tempat untuk bermain. Perjalanan ke sekolah cukup dengan jalan kaki. Bahkan alampun menjadi kelas, ruangan sekolah berbagi dengan kelompok belajar lain secara bergantian. Sekolahpun tidak memerlukan komputer sebagai media pembelajaran. Guru tidak menceritakan tentang cendrawasih tetapi menunjukkan langsung sosok burung itu.

Itu gambaran sekilas anak-anak di kampung Saporkren, Raja Ampat, Papua Barat. Kalau tinggal di tepi laut, ya kemampuan berenang perlu dilatihkan sejak kecil. Bahkan bagi suku Bajo yang tinggal lebih banyak di laut, sejak masih orok sudah diceburkan ke laut.

Pendidikan sejatinya bagaimana seorang individu beradaptasi dengan lingkungan. Tak perlulah saya cerita tentang orang lain. Saya cerita diri saya sendiri. Pendidikan telah mengasingkan saya dari lingkungan sendiri.

Lahir di perbukitan Camba, Sulawesi Selatan. Dikelilingi sawah dan kebun kemiri. Tetapi karena menempuh Pendidikan sampai ke kota, akhirnya tak pulang kampung dan justru tidak bisa hidup di kampung. Pekerjaan yang ditekuni tidak ada urusannya di kampung.

Demikian pula anak-anak yang berenang tadi. Ketika mereka memasuki usia pendidikan sekolah menengah, harus meninggalkan kampung halaman. Berpindah ke pulau lain untuk mengeyam pelajaran sekolah menengah sampai pada Pendidikan tinggi. Mereka akan mengalami pergantian alam dan justru hidup di perkotaan dengan budayanya sendiri. Kehangatan keluarga dan kerabat harus ditinggalkan demi selembar ijazah yang menjadi syarat untuk pekerjaan. Hidup di asrama atau bahkan di kontrakan, demi harapan masa depan.

Jangan sampai pendidikan kita akan mengasingkan murid dari lingkungannya. Walau tetap diperlukan penguasaan teknologi tetapi bukan berarti konsumen teknologi. Maka, dalam konteks kemasyarakatan Pendidikan pesantren senantiasa berusaha relevan dengan kebutuhan masyarakat.


***

Bagi masyarakat Finlandia, Pendidikan terbaik bagi mereka tersedia di Finlandia. Sekolah dan lembaga pendidikan akan menautkan pengalaman belajar dengan lingkungan yang didiami. Institusi pendidikan menjadi pertemuan belajar dengan lingkungan yang menjadi tempat tinggal murid.

Selain itu pendidikan justru menjadi peluang untuk menyadarkan pelajar akan aspirasi lingkungan. Kita bisa menyaksikan Indonesia hadir hari ini sepenuhnya karena kesadaran para pelajar yang berlayar jauh ke negeri Belanda. Di masa mereka belajar, justru menyerap ide-ide pembebasan bangsa dari penjajahan Belanda.

Sekembalinya ke tanah air, pengalaman belajar yang diperoleh justru menjadi daya dukung untuk mengusahakan proklamasi. Akhirnya, kita menikmati kewujudan Indonesia sampai saat ini. Semuanya itu salah satunya dimulai dari bangku Pendidikan.

Pesantren As’adiyah di Sengkang, Sulawesi Selatan, mewajibkan alumninya untuk mengabdi di masyarakat selama setahun usai lulus dari jenjang Aliyah. Bahkan, setiap Ramadhan santri-santri disebar ke pelbagai wilayah sampai ke luar pulau Sulawesi untuk menjadi pelayan umat melalui tugas imam masjid dan juga ceramah. Begitu pula mengajar di madrasah diniyah.

Dari dua studi kasus ini menunjukkan sekali lagi bahwa Pendidikan merupakan instrumen masyarakat. Jangan sampai apa yang menjadi materi belajar di sekolah justru sama sekali tidak berhubungkait dengan kehidupan itu sendiri.

Manusia seperti burung. Tempat terbaik bagi burung adalah sarangnya sendiri. Bukan sarang burung lain. Pepatah memesankan “setinggi-tinggi burung kembali ke sarangnya jua”. Begitulah manusia, kemanapun pergi selalu terpaut hatinya dengan rumahnya sendiri. Maka, seorang murid keterpautan dengan lingkungannya yang merupakan “sarang”, itulah yang perlu diperkenalkan sejak dini. Bukan mengenalkan “sarang” orang lain.

Belanda mewajibkan setiap murid untuk terampil berenang. Bahkan ada uji kompetensi itu di sekolah dasar. Misal ini bukan tentang Belanda melainkan terkait dengan lingkungan. Negara Belanda dikelilingi oleh sungai-sungai. Ketika seorang warga tidak bisa berenang, bisajadi akan ada kasus kematian yang terjadi karena ketidakmampuan berenang. Maka, diwajibkanlah kemampuan berenang itu untuk dikuasai setiap warga sejak anak-anak sekalipun.  Termasuk kepada orang asing yang juga belajar di Belanda pada tingkatan sekolah dasar.

***

Lalu apa yang dapat kita lakukan?. Tindakan yang diperlukan adalah menghubungkan pengalaman belajar dengan keperluan lingkungan. Anak di daerah pesisir, perlu dilatih untuk mengenal ikan, termasuk bagaimana menjaga lingkungan perairan.

Begitu pula dengan kearifan lokal perlu diperkenalkan sejak dini melalui institusi Pendidikan. Seperti sasi di masyarakat Papua. Sasi merupakan tradisi berpantang untuk mengambil sesuatu dari alam. Baik berpantang dalam komoditas tertentu atau Kawasan tertentu dalam jangka waktu yang disepakati.

Bisa jadi, masyarakat pesisir Raja Ampat belum sampai ke revolusi industri 4.0. mereka bahkan masih menantikan listrik ataupun signal telepon, dan juga koneksi internet. Dalam konteks ini, mereka tidak memerlukan pidato tentang 4.0. Tetapi tetap bahagia dengan ketiadaan listrik. Walau belajar di malam hari kadang ditemani dengan temaram lilin saja.

Institusi Pendidikan melalui guru, perlu didorong untuk mengembangkan pendidikan sesuai dengan lingkungan masing-masing murid. Tidak harus sama dengan pulau lain, dimana alam dan lingkunganya yang juga berbeda. Termasuk bahan bacaan yang juga perlu didorong untuk diterbitkan secara regional. Tidak harus bacaan dari Jakarta dikirim ke Papua, dimana minat cerita yang tentu saja berbeda. Guru dilatih dan diberi kesempatan untuk menuangkan ceritanya sendiri ke buku yang akan dijadikan sebagai materi belajar.

Dinas Pendidikan yang juga mengemban kebudayaan diberi kesempatan memproduksi film dengan kerjasama swasta. Film-film yang dijadikan bahan ajar tidak harus bernuansa ibukota. Setiap pulau perlu memproduksi filmya sendiri-sendiri. Itu pulalah yang menjadi percakapan warga. Tak harus film seperti “Ada Apa dengan Cinta” yang menjadi percakapan bersama dari Merauke ke Sabang. Sesorongnya, produksi film beragam sebagaimana kebinekaan Indonesia.

Demikian pula soal lagu. Tak harus semuanya menyanyikan lagu Korea ataupun menggemari K-Pop. Koleksi lagu Indonesia yang berasal dari semua daerah, tidak kekurangan. Maka, mengenalkan dan mempromosikan lagu-lagu daerah sama bagusnya dengan mengenalkan lagu berbahasa asing. Begitu juga dengan lomba pidato bahasa Inggris, tetap penting. Sama pentingnya dengan lomba pidato bahasa daerah, sebagai contoh lomba pidato Bahasa Bugis bagi sekolah-sekolah di wilayah yang berbahasa Bugis.

Satu pertanyaan sebagai akhir. “Dapatkah manusia bisa hidup tanpa mengenal teknologi?” bisa saja. Kita bisa menyaksikan masyarakat Badui, begitu pula masyarakat Kajang. Keduanya memilih untuk tidak menggunakan teknologi. Hanya sepenuhnya hidup dengan menjaga kelestarian alam. Bukan menjauhi, tetapi memilih untuk menggunakan sekadarnya. Mereka tetap saja Bahagia dan bahkan tetap menikmati kehidupan ini.

Maka, teknologi bukan segalanya. Mengajarkan penggunaan teknologi bukanlah pelajaran wajib dalam hidup. Kewajiban setiap murid justu terletak pada bagaimana menjaga relasi dirinya dengan alam yang menjadi wujud dari hadirnya Allah. Ketika manusia mengenal alam, maka itu bagian dari usaha untuk mengenal Allah. Menjaga alam sesungguhnya menjaga kehidupan itu sendiri. Itulah yang menjadi tugas utama dan pertama Pendidikan. *

Ismail Suardi Wekke, Ketua DPD FDI Papua Barat.

Agenda ke Depan

Agenda ke Depan