Oleh: Irmawati Sagala (Dosen IAIN STS Jambi)
Istilah Cuti Sabbatical sudah tidak
asing bagi sebagian kalangan dosen di Indonesia. Sayangnya, perbincangan
terkait implementasi cuti ini nyaris tak tersentuh, bahkan peraturan terkait
juga kalah populer dengan tema-tema lainnya misalnya yang paling baru Peraturan
Menteri Ristekdikti No. 20 Tahun 2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen
dan Tunjangan Kehormatan Profesor yang sempat meresahkan kalangan dosen. Padahal,
implementasi kebijakan cuti Sabbatical ini dalam pandangan saya akan sangat
potensial mendukung peningkatan luaran akademik dosen, sehingga juga akan
sangat membantu dalam implementasi peraturan-peraturan perundangan terkait
kinerja dosen seperti Permen No. 20 tahun 2017 tersebut.
Cuti Sabbatical merupakan
cuti kerja dalam jangka waktu tertentu yang bisa diperoleh oleh seorang pekerja
setelah bekerja dalam jangka waktu yang ditentukan, dengan tetap memperoleh
hak-haknya secara penuh. Di Indonesia, peraturan terkait cuti jenis ini bagi
profesi dosen diatur dalam pasal 32 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2009
tentang Dosen. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa dosen dapat memperoleh
cuti untuk studi dan penelitian atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, budaya dan/atau olahraga. Cuti untuk studi sudah berjalan
dengan aturan-aturan tambahan terkait dengan izin dan tugas belajar. Walaupun masih
banyak persoalan dalam implementasinya, setidaknya kebijakan ini sudah berjalan
dan berdampak pada peningkatan kualitas SDM dosen.
Sementara itu,
cuti untuk kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
seni, budaya dan/atau olahraga, masih belum terimplementasi dengan baik bahkan
belum populer di kalangan profesi dosen secara luas. Secara rinci, cuti ini
dapat dipergunakan untuk kegiatan:
a.
Pendidikan nonreguler
b.
Penelitian
c.
Penulisan buku teks
d.
Praktik kerja di dunia usaha atau
dunia industri yang relevan dengan tugasnya
e.
Pelatihan yang relevan dengan
tugasnya
f.
Pengabdian kepada masyarakat
g.
Magang pada satuan pendidikan
tinggi lain
h.
Kegiatan lain yang sejenis
Dari delapan kegiatan
tersebut, poin b, c, f adalah kegiatan yang hampir tak tersentuh. Padahal,
justeru poin-poin ini merupakan inti kerja Tridharma Perguruan Tinggi yang juga
berkaitan langsung dengan berbagai tunjangan dosen. Masih dalam pasal yang sama
disebutkan bahwa seorang dosen dengan jabatan fungsional Asisten Ahli atau
Lektor berhak mendapatkan cuti setiap 5 tahun sekali, sedangkan untuk dosen
dengan jabatan fungsional Lektor Kepala atau Profesor setiap 4 tahun sekali,
dimana masing-masingnya dilakukan dalam waktu maksimal 6 bulan.
Adanya
kesempatan cuti dalam jangka waktu tersebut tentu akan sangat bermanfaat bagi
dosen dalam meningkatkan profesionalitas dalam menjalankan tugas profesi sesuai
peraturan perundangan terkait kinerjanya secara berkualitas. Tentu saja tidak
semua dosen membutuhkan cuti Sabbatical, tergantung dengan model kerja serta
desain dari kegiatan penelitian, pengabdian dan/atau kegiatan pengingkatan
kapasitas profesi yang dimiliki oleh masing-masing pribadi dosen. Implementasi
kebijakan ini, yang menurut Undang-undang tersebut diatur oleh penyelenggara
satuan pendidikan tinggi atau satuan pendidikan tinggi, tentu juga perlu
mempertimbangkan kondisi objektif dari satuan pendidikan tingginya. Namun
sebagai amanat Undang-undang, serta menilik nilai strategis kebijakan ini, maka
perlu kiranya penyelenggara satuan pendidikan tinggi atau satuan pendidikan
tinggi membuat aturan pelaksanaannya. Sayangnya, peraturan pelaksanaan
Undang-undang tersebut tampaknya belum mendapat perhatian serius. Di lingkungan
satuan penyelenggara satuan pendidikan tinggi keagamaan misalnya, berdasarkan
pengalaman saya sebagai dosen di salah satu Institut Agama Islam, belum ada
petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis terkait jenis cuti ini. Maka, saya
berpikir, hak dan tugas kita bersamalah mendiskusikan topik ini di lingkungan
kerja kita!