Sudah cukup lama aku tidak menengok warung diskusi induk, di komunitas dosen. Bukan masalah apa-apa, aku cuma merasa sedang butuh banyak energi untuk membarengi langkah-langkah ‘keluarga kecil’ menghantarkan lahirnya organisasi profesi. Warung induk ini sangat ramai dan sering mengalami ‘kebakaran’. Meskipun tugasku adalah termasuk menjadi tim pemadam, toh sekali dua aku sempat juga terbakar, bahkan kapan hari itu, menyengaja menjadi penyulut kebakaran (hehehee ....). Aku tahu, langkah itu pasti bakal mendapatkan jeweran dari para sesepuh. Hanya saja, hatiku kadang memang meronta melihat tingkah polah rekan sejawat yang menurutku sangat jauh dari citra seorang dosen. Citra seorang pendidik. Meski sampai titik ini aku sadar bahwa bagaimanapun aku juga belum mampu menampilkan citra pendidik (dosen) yang ‘semestinya’.
Ketika aku kembali menengok warung itu, ingatan tentang citra itu kembali mengusikku, khususnya ketika mulai ada bara api (lagi) dalam diskusi seputar sistem organisasi profesi yang barusan lahir itu. Di sinilah kusadari sepenuhnya bahwa fakta baru ambiguitas tampilan perilaku dosen saat ini, memang nyata. Tidak sekali dua kami menyuarakan kebencian dan alergi kronis terhadap makhluk bernama politik dengan segala segi dan variannya, tetapi kami menerapkan ‘politik’ itu dalam setiap sendi kehidupan masyarakat akademik, juga lengkap dengan segala sendinya. Kami bicara tentang budi pekerti, pendidikan karakter, keteladanan, tetapi ternyata itupun hanya pajangan dalam kurikulum dan buku-buku acuan di sudut-sudut lemari ruang kerja. Betapa mudahnya menuding, melempar fitnah, bersikap egois, menginjak teman, menghalalkan segala cara, hanya sekedar untuk mendapatkan pengukuhan eksistensi diri sebagai ‘orang penting’, kesejahteraan, dan kenyamanan. Betapa ringannya menepiskan hasil kerja keras sejawat yang dibangun di atas tetesan keringat, airmata dan darah, hanya karena tergiur kemolekan bayangan kekuasaan. Duh Gusti ....... !
Citra dosen sebagai pendidik, sebagai ‘guru’, yang ditanamkan ibuku dulu, pecah berkeping-keping. Ibuku adalah seorang guru SD, yang ‘hanya’ berpendidikan SGA (selevel SMA saat ini), yang telah mengabdikan hidupnya sebagai ‘akademisi’ secara nyaris sempurna. Kalau kutengok pangkat terakhirnya adalah golongan 4C, saat ini sudah nyaris setara dengan profesor. Toh dia hanya berakhir sebagai Kepala Sekolah di kecamatan kecil, mengajukan pensiun dini saat menyadari ketidakmampuannya memenuhi tuntutan perkembangan kualitas dunia pendidikan terhadap siswa SD. Tidak pernah mau menerima pengangkatan sebagai Penilik Sekolah, meskipun menjanjikan gaji yang menggiurkan, karena sadar tidak bakal mampu memperjuangkan nasib rekan-rekan guru sukwan di lingkungannya. Dan dia, cuma lulusan SGA.
Dosen, di mata ibuku, adalah guru. Maka aku sebagai dosen, wajib menampilkan diri, mencitrakan kepribadian yang wajib digugu lan ditiru. Pantas dipatuhi dan diteladani. Hari-hari pertamaku sebagai dosen adalah hari-hari penuh pesan, wejangan dan pitutur, tentang bagaimana bersikap dan mengusung kewajiban sebagai dosen. Bahwa dosen adalah orangtua bagi mahasiswanya, saudara bagi rekan kerjanya, sahabat bagi karyawan di lingkungannya, dan pelopor bagi masyarakat sekitarnya. Bahwa karena ‘siswa’-ku adalah mahasiswa dengan jadwal kuliah yang ‘tidak beraturan’, tidak seperti level pendidikan dasar dan menengah, maka aku harus bersedia meluangkan waktuku menerima ‘rengekan’ mahasiswaku kapan pun mereka muncul. Itulah yang membuat pintu rumahku terbuka 24 jam bagi siapapun yang bergelar ‘mahasiswa’.
Dengan predikat-predikat yang tersandang itu, kunci keberhasilan seorang pendidik terletak pada konsistensinya menjaga kesesuaian ucapan dan tindakannya. Ini, sangat sulit dilakukan, karena itu berarti harus siap menerima ‘kekalahan’ dari sisi pandang kalayak umum. Demi citranya sebagai benteng moral peradaban bangsa, pendidik harus mampu menahan diri tidak melakukan korupsi meskipun sangat tahu cara menghindari resikonya. Meskipun dikejar tuntutan kepangkatan, pendidik harus mampu menjaga kualitas karya yang menjadi syarat teraihnya pangkat tersebut. Meskipun bisa, pendidik sangat tabu menarik tambahan biaya pendidikan di luar yang semestinya dibayarkan siswanya. Itu semua contoh-contoh kecil yang lazim menjadi godaan bagi setiap pendidik dalam kehidupan profesinya sehari-hari, yang berdampak pada lambatnya peningkatan kesejahteraan kehidupannya dalam pandangan masyarakat, dari sisi pandang stabilitas perekonomian dan gengsi pergaulan. Itulah sumber slogan bahwa guru, pendidik, dosen, adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Meskipun, minimum, di mata ibuku, itu adalah ruh profesi, bukan sekedar slogan.
Lalu, kolega-kolegaku menyatakan bahwa dosen bukan guru, hanya karena isu remunerasi. Lalu, isu yang memercik dari kepingan uang ini menyebarkan virus-virus turunannya dalam bentuk kekuasaan, gemerlapnya tampuk pimpinan, peneguhan eksistensi diri, dan indahnya berlenggok di bawah sorotan ‘lampu mercuri’. Lalu, itu juga mengancam nyawa bayi organisasi yang disemai bertahun-tahun, oleh keluarga kecilku. Bayi yang diharapkan dapat menghantarkan bangsa ini menuju masa keemasan generasi penerus. Bayi yang dengan susah payah diajarkan makna kasih sayang dan kemurnian profesi pendidik. Bayi yang telah menjadi yatim sebelum lahir. Oh, no ......... :’(
Dosen bukan guru, karena dosen juga mengabdi dan meneliti. Dosen bukan guru, karena guru hanya mengajar semata. Dosen bukan guru, karena dosen bisa menjadi profesor. Tetapi profesor adalah guru besar. GURU BESAR ! Jadi, dosen bukan guru ? Ah ...........
Oleh : Nurida Finahari
Ketua Umum DPD Jawa Timur
Email : nfinahari@fdi.or.id