Oleh: Issy Yuliasri (Universitas Negeri Semarang)
Mengapa tulisan ini saya beri judul ‘Where are you
from, Mister?’ tentu ada maksudnya.
Orang yang paham budaya tutur bahasa Inggris pasti akan tergelitik
dengan judul ini, karena mereka paham bahwa menyebutkan panggilan ‘Mister’
tanpa menyebutkan nama keluarga (family
name, atau last name, atau surname) tidaklah patut. Bagi yang
sedang menyukai belajar bahasa dan budaya tutur bahasa Inggris, semoga judul
ini juga menariknya untuk membaca.
Tulisan ringan ini akan membahas bagaimana budaya
tutur masyarakat penutur bahasa Inggris dalam basa-basi sehari-hari, khususnya
dalam memulai percakapan dengan orang yang belum dikenal, dan bagaimana
masyarakat awam dan pembelajar bahasa Inggris di Indonesia sering salah kaprah dalam berinteraksi dengan penutur asli bahasa
Inggris. Sebagai contoh, sering kita lihat remaja usia sekolah di tempat wisata
dengan antusias mengajak bicara wisatawan asing dengan berbagai celotehan yang
umumnya berupa pertanyaan semacam ‘Hello,
Sir, where are you from?’, atau ‘Where
are you from, Mister?’, atau ‘Are you
from Australia, Mister?’, dan sejenisnya.
Sebenarnya, bagaimanakah cara memulai pembicaraan
bahasa Inggris secara patut dengan orang yang belum dikenal? Ada baiknya kita
bagi dalam dua situasi yang berbeda.
Pertama, bila kita berada di kalangan terbatas, seperti dalam suasana
pertemuan komunitas sejenis, misalkan konferensi sesama dosen/guru, atau dalam
pertemuan terbatas lainnya. Kedua, bila
kita berada dalam lingkungan umum yang lebih luas atau ranah publik. Nah, bila
berada dalam suatu event kalangan
terbatas, basa-basi untuk memulai percakapan bisa lebih mudah dan pendek.
Mengapa? Karena dalam kalangan terbatas calon lawan bicara kita adalah orang-orang
yang satu kalangan atau satu lingkup profesi maupun kepentingan, sehingga
mereka merasa lebih nyaman, aman, dan tidak meragukan siapa kita sebagai ‘orang
asing’. Sedangkan dalam lingkungan yang
umum, misal di area publik atau event publik,
pendekatan kita ketika akan mengajak berbicara dengan orang asing harus lebih
berhati-hati dan relatif lebih panjang prosesnya.
Setelah kita mempertimbangkan di mana kita akan mulai
percakapan, apakah di kalangan terbatas atau di kalangan publik yang luas, apa
langkah pertama memulai percakapan? Pertama,
bila kita berada di lingkungan terbatas
semacam pertemuan profesi atau konferensi. Pada saat rehat kopi atau rehat
makan biasanya kita beramahtamah dengan orang yang berada di dekat kita. Atau, bahkan mungkin kita sengaja mendekati
dan bermaksud mengajak bicara tokoh penting pada event tersebut karena akan menjajagi kemungkinan kerjasama. Yang harus kita lakukan pertama-tama adalah
mendekat, melakukan eye contact atau
tatap mata, dan ucapkan satu magic word
(‘kata ajaib’) ‘Hello’ sambil
tersenyum. Biasanya, lawan bicara kita
akan langsung tersenyum sambil menatap juga dan balas menjawab ‘hello’ atau ‘hi’ (‘hi’ ini lebih
informal, biasanya diucapkan dalam suasana santai antar orang yang sudah akrab,
namun tidak tertutup kemungkinan diucapkan oleh orang yang baru kita jumpai,
bila orang tersebut memang suka suasana yang akrab dan terbuka. Bila kita memulai dengan orang baru,
sebaiknya kita pakai ‘hello’ saja
karena lebih netral dan lebih aman; tidak terkesan ‘sok akrab’).
Setelah salam kita direspon, kita bisa langsung
memperkenalkan diri. Bila event
tersebut melibatkan peserta dari berbagai negara, maka kita juga bisa langsung
menyebut negara asal kita. Jadi, kita bisa mengatakan ‘I am Issy, from Indonesia’, misalnya, atau
‘My name is Issy, from Indonesia’,
sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan bila perlu, atau tanpa berjabat
tangan bila tangan kita masih memegang kopi dll. Orang Barat biasanya sangat
sopan, dan tidak mungkin mengabaikan perkenalan semacam ini. Sesuai etiket yang
lazim, mereka akan membalas perkenalan kita juga dengan hal serupa. Jadi bila kita menyebut nama dan negara,
mereka pun akan memberi informasi serupa.
Dengan demikian, kita bisa berharap mereka akan mengatakan ‘I am Suzane from New Zealand’, misalnya,
dan mereka pun akan membalas uluran tangan untuk berjabat tangan dengan kita. Bila kita hendak mengajak bicara tokoh atau
figur yang sudah dikenal, misal pembicara utama dalam konferensi, kita bisa
mulai misalnya dengan menyebut namanya dan memperkenalkan diri seperti: ‘Dr. Brown, I enjoyed your presentation. I am
Issy from Indonesia’ sambil mengulurkan tangan. Dalam hal jabat tangan,
sesama lelaki atau sesama perempuan tidak ada masalah (Walaupun, ada literatur
yang mengatakan bahwa jabat tangan di antara lelaki lebih jarang dibanding
antar perempuan). Tetapi bila antar
lelaki dan perempuan, biasanya lelaki Barat akan menyerahkan inisiatif jabat
tangan itu kepada perempuan. Artinya,
mereka umumnya lebih suka membiarkan perempuan yang take the first move, karena mereka tidak mau mengganggu kenyamanan
perasaan perempuan bila ternyata dia tidak suka berjabat tangan. Apa lagi dengan perempuan dari budaya lain,
khususnya perempuan yang berhijab, umumnya laki-laki sangat berhati-hati dan
tidak mau ‘menyerobot’ begitu saja. Karenanya, bila pihak perempuan tidak
bermasalah dengan jabat tangan, maka dia bisa ambil inisiatif jabat tangan itu.
Setelah selesai dengan salam dan perkenalan singkat,
maka percakapan bisa dimulai. Bagaimana
memulainya? Tentu saja dimulai dengan hal-hal yang umum atau generalities. Yang termasuk dalam
hal-hal yang umum misalnya adalah masalah cuaca, pemandangan, keindahan tempat
atau negeri tempat acara, atau hal-hal yang berkaitan dengan event yang sedang dihadiri. Bila kita
berbicara dengan seorang tokoh atau pembicara, kita bisa memulai dengan
mengomentari atau bertanya tentang materi presentasi yang telah disampaikannya.
Yang tabu dalam percakapan pertama dengan orang baru dalam budaya tutur bahasa
Inggris adalah bicara hal-hal sensitif, antara lain soal status perkawinan,
agama, gaji/penghasilan, umur dan politik (hm…ketika menuliskan ‘politik’ saya
tidak bisa menahan senyum…teringat betapa perdebatan politik di sosial media
bisa menjadi sangat sengit, dan ujung-ujungnya rasa tidak nyaman satu sama lain
di antara kubu politik yang berbeda…). Jadi, dalam suasana rehat kopi suatu
pertemuan kalangan terbatas, kita bisa berkomentar seperti ini misalnya ‘the conference is great, isn’t it?’ atau
‘The conference is really great. Have you
been to this conference before?’ (bila konferensinya tahunan atau regular),
atau ‘the keynote speech was marvelous,
don’t you think?’, atau ‘this place
is beautiful’, atau ‘this city is so
beautiful...I love the old buildings’, atau ‘the weather is so nice and cool.
I love it very much’, atau ‘it’s
a bit too cold/hot, don’t you think?’ dan sejenisnya. Biasanya ini akan
direspon dengan persetujuan, dan adakalanya komentar tambahan dari lawan
bicara. Berikutnya, percakapan bisa dilanjutkan dengan lebih akrab. Di akhir percakapan, kedua belah pihak bisa
saling bertukar kartu nama (business card).
Kedua, bila kita berada dalam lingkungan publik, misal pada suatu tempat wisata. Bagaimana memulai percakapan dengan orang
asing dalam bahasa Inggris? Dibutuhkan proses yang agak lebih hati-hati,
dikarenakan kita adalah orang yang asing bagi calon lawan bicara kita; dan
karena calon lawan bicara kita belum mengenal siapa kita, mungkin belum ada
rasa nyaman dan aman. Dalam hal ini,
kita harus melakukan penjajakan dulu. Bagaimana melakukan penjajakan? Paling
aman adalah menggunakan salam ‘hello’
sambil tidak lupa tersenyum. Ini adalah
‘kata ajaib’ yang merupakan sapaan yang netral, bisa dilakukan dalam situasi
formal maupun informal, dalam ruangan maupun di luar ruangan, dengan orang
asing maupun dengan orang yang sudah dikenal.
Setelah melakukan penjajakan dengan mengucapkan salam tersebut,
perhatikan bagaimana reaksi lawan bicara kita.
Bila dia merespon positif, nampak terbuka, mau tersenyum, dan kelihatannya
siap diajak bicara, maka kita bisa melanjutkan.
Namun, bila dia tidak merespon positif, nampak enggan atau ragu, bahkan
mungkin nampak terganggu, maka tidak usah kita lanjutkan. Berarti, dia sedang tidak ingin ‘diganggu’,
mungkin sedang menikmati privacy atau
liburannya.
Bagaimana langkah selanjutnya terhadap respon yang
positif? Nah, ketika penjajakan kita direspon positif, maka kita mulai dengan small talk, basa-basi, tetapi yang
bersifat umum atau generalities. Ini
bedanya dengan yang pertama. Yang pertama, di lingkungan terbatas, kita bisa
langsung memperkenalkan diri setelah salam direspon positif. Di lingkungan publik kita harus menahan diri
dulu. Kita bisa bicara hal-hal umum yang langsung terkait dengan suasana saat
percakapan. Misal kita berada di lingkungan outdoor,
kita bisa berkomentar tentang cuaca sebagaimana contoh di atas, dan bisa
pula berkomentar tentang panas/hujan untuk situasi Indonesia. Contohnya, ‘it’s hot, isn’t it?’ atau ‘it’s very hot these days… we haven’t got any
rain’, atau ‘it usually rains heavily
this time of the year’, atau ‘it
sprinkles sometimes’. Kita juga bisa bicara tentang hal-hal terkait objek
sekeliling kita. Misal kita berada di
Borobudur, kita bisa berkomentar ‘it’s
amazing how people in the past could build this temple’, atau ‘it’s magnificent, isn’t it?’ atau ‘beautiful, don’t you think?’, dll. Biasanya, bila dia berminat untuk berbicara
dengan kita, maka dia akan merespon komentar kita.
Berikutnya, tergantung apakah tadi menjajaki dengan
komentar tentang cuaca atau tentang Borobudur, maka langkah berikutnya bicara
yang terkait, namun menyangkut situasi di negara lawan bicara kita. Kita bisa melanjutkan sbb: ‘What about the weather in your country?’
atau ‘what is the best historic landmark in your country?’, dll. Nah,
setelah ini direspon, barulah kita masuk tahap berikutnya dengan sekaligus
bertanya dari mana dia berasal: ‘By the
way, which country are you from?’ atau ‘Oh…the
Big Ben? So, you are from England?’ (ini bila tadi lawan bicara kita menyebut
the Big Ben sebagai historic landmark-nya).
Setelah itu, percakapan bisa berlanjut, dan bisa jadi tanpa harus
berkenalan. Dalam percakapan di tempat publik seperti di bandara, di tempat
wisata, di ruang tunggu rumah sakit, bank, mall, atau di pesawat, percakapan
dapat terjadi hanya untuk beramahtamah dan menghabiskan waktu, dan biasanya
tanpa ada perkenalan; walaupun, tentu saja, perkenalan boleh-boleh saja, bila
dikehendaki.
Jelaslah bahwa pada situasi yang manapun, baik di lingkungan terbatas
maupun publik, ada basa-basi yang harus diikuti bila kita hendak melakukan
percakapan bahasa Inggris dengan orang yang belum kita kenal, khususnya penutur
jati Bahasa Inggris. Pada
kedua situasi tersebut, kita tidak bisa ‘tembak langsung’ dengan memberi
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat interogasi semacam ‘are you American?’,
‘are you from Australia?’ terlebih lagi ‘Where are you from, Mister?’. Orang
Barat umumnya merasa ‘terganggu’ bila dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan
‘interogasi’ semacam ini secara tiba-tiba, tanpa komunikasi awal yang mengalir
wajar. Mereka akan merasa bahwa ‘privacy’-nya telah diinvasi. Saya
teringat komentar teman saya, seorang warga negara Australia yang pernah
menjadi Atase Pendidikan di Indonesia.
Menurutnya, dia bersama istrinya sangat menikmati tinggal di Indonesia,
namun ada satu hal yang sangat mengganggu dan butuh waktu lama untuk mengerti
dan menjadi terbiasa. Setiap saat,
katanya, dia selalu ditanya oleh orang Indonesia ‘dari mana?’ atau ‘mau ke
mana?’. Menurutnya, ‘it’s none of their business where I have
been or where I am going!’ (bukan urusan mereka kan, dari mana saja saya
dan mau ke mana saya?) Setelah saya jelaskan bahwa ‘dari mana’ atau ‘mau ke
mana’ di budaya Indonesia adalah ekspresi basa-basi ramah tamah seperti halnya ‘hello’
dalam bahasa Inggris, dia tersenyum dan menyadari bahwa pada awal-awal masa
tinggalnya tersebut dia telah salah paham. Jelaslah persoalannya: dalam budaya
tutur bahasa Inggris ‘where are you from?’
(dari mana asal), atau ‘where have you
been’ (dari mana saja), atau ‘where
are you going’ (mau ke mana) adalah pertanyaan meminta informasi, dan bukan
bagian dari basa-basi. Sedangkan dalam budaya Indonesia, pertanyaan ‘dari mana’
dan ‘mau ke mana’ merupakan bagian dari basa-basi, tidak selalu bermaksud
benar-benar ingin tahu informasi dari mana lawan bicara bepergian. Budaya tutur
Indonesia ini, bila dipakai/diterjemahkan ketika berbicara dengan penutur asli
bahasa Inggris, atau masyarakat Barat pada umumnya, akan disalahpahami dan
menimbulkan ketidaknyamanan.
Selain pertanyaan-pertanyaan ‘interogasi’, penyebutan
nama juga merupakan problem tersendiri bagi awam atau pembelajar bahasa
Inggris. Penyebutan title seperti
Mr./Mrs./Ms./Miss/Dr. dll selayaknya diikuti dengan penyebutan nama keluarga,
dan dipakai pada situasi formal. Jadi, terasa lucu dan aneh bila ada sebutan
‘Mister’ tanpa nama (walaupun sebagian orang Barat akan sedikit maklum bila
berhadapan dengan orang dari budaya lain). Jelaslah kiranya bahwa pertanyaan
‘Where are you from, Mister?’ dan sejenisnya yang diajukan oleh orang yang baru
ditemui, sedikit banyak akan membuat perasaan tidak nyaman bagi penutur jati
bahasa Inggris. Mari kita belajar bercakap bahasa Inggris dengan budaya tutur
yang berterima.