Rabu, 11 Juli 2018

Pena, Kapak dan Tongkah: Sebuah Pilihan Jalan Hidup Pemuda di Desa Suku Duano



Oleh: Irma Sagala



Kamal, demikian sapaan akrab Pak Wali (kepala desa) Desa Tanjung Pasir atau yang lebih dikenal dengan nama Sungai Rumah. Seorang tetangga membantu mengetuk pintu rumah beliau saat saya bersama 13 rekan lainnya tiba di depan rumah untuk meminta izin riset di desanya. Rumah papan beratap daun nipah itu tampak seperti rumah warga kebanyakan. Di pelataran rumah yang menyatu dengan jalan desa, teronggok daun nipah yang siap diraut untuk diambil lidinya. Sembari menunggu Pak Wali keluar, saya pun menyempatkan meraut beberapa lidi, mencoba melakoni keseharian masyarakat Duano di desa ini. Lidi nipah adalah salah satu sumber mata pencaharian warga desa yang dibeli oleh pengumpul untuk dijual ke pedagang India itu dihargai 6 ribuan rupiah per kilogramnya.
Sosok yang keluar dari pintu rumah itu di luar perkiraan saya yang semula membayangkan Pak Wali adalah orang tua paruh baya yang kharismatik dan bernuansa adat. Salah! Pak Wali adalah anak muda berusia 34 tahun, dengan tampilan trendy dan humble. Kami segera dipersilahkan masuk dan perbincangan pun dimulai dengan akrab. Hari itu, Sabtu tanggal 30 Juni, rombongan dosen dari Jambi yang bergabung dalam Forum Dosen Indonesia (FDI) daerah Jambi dan CED UIN STS Jambi melalukan penelitian tentang Suku Duano, atau dikenal juga dengan istilah Orang Laut, di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau.

Gambar: Perjalanan tim peneliti menyeberang dari basecamp di Kuala Enok ke Tanjung Pasir

Gambar: Perkampuangan Suku Duano di Desa Tanjung Pasir
Setelah perkenalan singkat dari kami, Pak Wali mulai bercerita tentang latar belakang beliau dan masyarakat Duano khususnya yang tinggal di desa yang beliau pimpin saat ini. Salah satu kisah yang paling menarik adalah tentang pendidikan anak-anak Suku Duano. Ya, pendidikan adalah gerbang menuju perubahan dan kemajuan. Sayangnya, akses masyarakat Duano terhadap pendidikan masih rendah, baik disebabkan oleh faktor ekonomi maupun masih lemahnya motivasi mereka. Maka, kisah Pak Wali pun menjadi cermin mengesankan tentang bagaimana kisah pendidikan anak-anak Suku Duano.

Gambar: Berbincang dengan Pak Wali (berbaju kaos krah merah) di rumah beliau

Seperti kebanyakan anak-anak lainnya, Kamal kecil tak pernah memiliki cita-cita untuk sekolah tinggi. Kamal yang lahir dari pasangan campuran, Bapak suku Melayu dan Ibu suku Duano, memasuki sekolah dasar lebih seperti sebuah kelaziman usia dan dorongan orang tua. Syukurlah, ada SD di desa mereka sehingga sekolah bisa berjalan lancar. Perjuangan sekolah mulai dirasakan ketika memasuki jenjang SMP di mana harus bersekolah ke desa sebelah yang harus dicapai dengan menompang perahu penyeberangan setiap harinya. Kamal kecil sempat berniat berhenti sekolah karena merasa beratnya perjuangan sekolah seorang diri dari kampungnya, untuk sesuatu yang bahkan tak cukup dia mengerti ujungnya.

Keinginan berhenti sekolah pun disampaikan pada sang ayah, hingga keluarlah maklumat yang akhirnya mengantarkan Kamal menjadi seorang sarjana. Sang ayah memberi pilihan untuk tetap sekolah atau boleh berhenti dengan 2 konsekuensi yaitu meninggalkan rumah atau diberikan bekal lain untuk menyambung kehidupan: kapak atau tongkah. Pilihan yang diberikan sang ayah tidaklah sederhana untuk Kamal kecil. Ini tentang pilihan jalan hidup. Akankah bekerja dengan pena atau dengan kapak dan tongkah. Dua alat terakhir adalah alat utama pekerjaan Suku Duano sejak dahulu hingga kini. Kapak digunaklan untuk pekerjaan mencari kayu di hutan, sedangkan tongkah adalah sebidang papan mirip papan selancar yang digunakan sebagai alat menangkap kerang di endapan lumpur pantai saat air surut, yang biasa disebut manongkah.
Kamal kecil harus memilih. Belajar dan perjalanan menuju sekolah memang berat, tapi Kamal juga tak berani menyandang kapak atau menaiki tongkah di usianya saat itu. Meski dengan berat hati, pilihan melanjutkan sekolah pun diambil. Tekad Kamal untuk melanjutkan pendidikan baru benar-benar menguat beberapa tahun kemudian. Suatu hari saat masih duduk di bangku SMA, Kamal dibawa sang ayah untuk manongkah. Berbagai persiapan fisik dan teknis pun dilakukannya, tapi sia-sia. Sambil tertawa mengenang masa lalunya, Pak Wali bercerita bahwa hari itu beliau sampai menangis karena tak mampu melakoni pekerjaan manongkah yang sudah turun-temurun dilakoni leluhurnya dari pihak ibu. “Saya harus sekolah”, tekadnya kala itu.
Begitulah, Kamal melanjutkan pendidikannya dalam kebersahajaan hingga memasuki perguruan tinggi. Di awal masa studi sarjananya, sang ayah pun meninggal dunia. Namun sang ibu yang berjualan kecil-kecilan pun tak surut asa untuk mendorong anaknya bersekolah. Kuliah Kamal sempat terputus beberapa tahun karena kondisi ekonomi. Tapi hal itu tak membuatnya surut. Setelah mengumpulkan modal, Kamal kembali masuk kuliah dan kali ini di Universitas Islam Riau. Kamal berhasil menamatkan kuliah dalam bidang hukum sehingga berhak menyandang gelar sarjana hukum di belakang namanya: Kamaluddin, S.H. Raut wajah Pak Wali itu tampak sumringah bercampur haru saat menytakan betapa beliau bersyukur atas “paksaan” yang diberikan sang ayah dulu. “Jika bukan karena pilihan berat itu, mungkin saya tak kan pernah merasakan pendidikan sampai seperti ini”, ujar beliau penuh khidmat.

Gambar: Tim peneliti bersama aparat desa di beranda rumah Pak Wali

Saat ini, pengalaman itu pula yang selalu beliau bagikan kepada warga untuk memotivasi anak-anak muda bersekolah dan mendorong para orang tua menyekolahkan anak. “Satu tongkah satu sarjana”, begitulah impian besar Pak Wali yang baru menjabat sebagai kepala desa selama 6 bulan ini untuk masyarakatnya. Akankah pendidikan anak-anak Suku Duano di Desa Tanjung Pasir membaik ke depannya? Ini adalah salah satu kerja besar Pak Wali beserta aparat desa dan seluruh warganya. Kita, masyarakat Indonesia di daerah lain pun, layak untuk peduli terhadap impian mereka. Semoga tiap anak mendapatkan haknya atas pendidikan. Semoga! 

Sumber: https://irmasagala.blogspot.com/2018/07/pena-kapak-dan-tongkah-sebuah-pilihan.html 

Agenda ke Depan

Agenda ke Depan