Forum Dosen Indonesia

Merupakan organisasi yang didirikan tanggal 24 Agustus 2013, bersifat independen yang tidak terikat langsung dengan institusi anggotanya dan berbasis teknologi informasi. Didirikan dengan maksud melakukan advokasi untuk tujuan pengembangan kualitas dosen dan pendidikan tinggi Indonesia.

Forum Dosen Indonesia di Internet

1) Kuning / Emas : Pendidikan, mencetak generasi emas Indonesia, 2) Biru Langit : Penelitian, seperti langit tanpa batas yg dapat dicapai sebatas kekuatan manusia, 3) Hijau : Pengabdian masyarakat yang lebih bersifat kerelawanan, bekerja demi amal, 4) Merah dan putih : Indonesia.

ORMAS Dosen Indonesia

Berawal dari Grup Dosen Indonesia di Facebook menjadi ORMAS Dosen

Senin, 08 Juni 2020

DPD FDI LAMPUNG TERBENTUK



Setelah sekian lama digagas Forum Dosen Indonesia (FDI) Provinsi Lampung akhirnya pada tanggal 27 Mei 2020 DPD FDI Lampung terbentuk dengan terpilihnya secara aklamasi Prof. Dr. Tulus Suryanto, Akt, CA, CMA. ACPA. sebagai Ketua FDI Provinsi Lampung. 

Terpilihnya Tulus sebagai Ketua DPD FDI  Provinsi Lampung setelah dilakukan musyawarah oleh Tim Formatur yang terdiri dari 17 orang.  Rapat Tim Formatur dilakukan melalui fasilitas video conference FDI Pusat. Menurut Ketua Tim Formatur pembentukan pengurus DPD FPI provinsi Lampung Prof. Dr. Siti Fatimah terpilihnya Tulus Suryanto merupakan keputusan tepat karena Tulus adalah seorang dosen yang sangat produktif di bidang penulisan karya ilmiah, reviewer jurnal internasional, Trainer di berbagai Perguruan Tinggi baik dalam maupun luar negeri serta chief editor jurnal internasional. 

Diharapkan dengan dinahkodai oleh Tulus Suryanto ini, DPD FDI Provinsi Lampung dapat segera berkembang mensejajarkan diri dengan kepengurusan DPD FDI di seluruh Indonesia. Berikut ini adalah nama-nama Tim Formatur kepengurusan DPD FDI Provinsi Lampung:

1. Dr. Parwito (DPD FDI pusat) 
2. Prof . Dr. Hj. Siti Patimah., M.Pd (UIN RIL)
3. Dr. Reza Ronaldo, MM. APAI.CIIB.ANZIIF.CIP.CRGP (Rektor STEBI Lampung) 
4. Dr. Dalman, M.Pd (Rektor UML)
5. Dr. Lina Maulidiana, S.H.,M.H. (Dekan Fakultas Hukum Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai )
6. Dr. Suhairi, S.Ag., MH.(WR 1 IAIN Metro) 
7. Dr. Hamzah, S.H., M.H. (Wadek FH Unila)
8. Sungkowo,S.Ag.M.Pd.I (Rektor STAI Kalirejo.
9. Dr.-ing. Melvi, M.T. (Unila) 
10. Eko Budi Sulistio, S.Sos, M.AP (Unila) 
11. Dr. Triono M.I.P (Rektor Univ. Megou Pak Tulang Bawang)
12. Dwi Rohmadi Mustofa, M.Pd. (STIT Pringsewu)
13. Prof. Dr Karwono, M.Pd (UM Metro) 
14. Prof. Dr. Tulus Suryanto, Akt, CA, CMA. ACPA. (UIN RIL) 
15. Ferry Antoni., S.Ag. MH (UMPTB) 
16. Dr. Novita Tresiana, M.Si (UNILA)
17. Dra. Heni Kusumastuti, M.I.P. (Rektor Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai )

Tim Formatur bertugas untuk membantu ketua terpilih menyusun kepengurusan DPD FDI Provinsi Lampung sesuai dengan ketentuan yang tertuang di dalam AD ART DPP FDI.  #ebs

Rektor Dwijendra Nahkodai Forum Dosen Indonesia DPD Bali



Pembentukan Forum Dosen Indonesia (FDI) Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Bali akhirnya terbentuk Jumat, 22 Mei 2020 di Denpasar melalui pertemuan musyawarah daerah online. Musyawarah daerah ini diikuti oleh 59 dosen yang tersebar di Bali dan juga dikuti oleh FDI Pusat yang diwakili oleh Parwito, S.P., M.P. dan Dr. I Putu Puja. Acara diawali dengan pengantar dari Parwito yang memberikan gambaran singkat tentang FDI dan arahan penyelenggaraan musyawarah pembentukan organisasi FDI DPD Bali dan pemilihan Ketuanya. Dr. I Wayan Budiarta, SS.M.Hum. selaku moderator telah memandu acara sejak awal sampai berakhir dan dimulai dengan meminta pandangan peserta musyawarah terkait dengan pembentukan FDI. Seluruh dosen yang mengikuti acara ini secara tegas menyatakan sepakat agar FDI ini segera dibentuk di Bali. 

Setelah organisasi FDI DPD Bali terbentuk, acara dilanjutkan dengan pemilihan ketua untuk periode 2020-2024. Sebelumnya telah digadang-gadang Dr. Ir. Gede Sedana, M.Sc.MMA. yang juga sebagai Rektor Universitas Dwijendra, Denpasar untuk menjadi calon ketua. Budiarta menyampaikan kepada peserta bahwa Saudara Gede Sedana ditetapkan sebagai calon ketua, dan peserta meminta agar pemilihan dilakukan secara demokratis. Prof. Dr. I Ketut Widnyana diharapkan juga untuk menjadi calon, dan mendorong agar ada dosen perempuan untuk menjadi calon ketua. Namun, Prof Widnyana menyampaikan langsung dukungannya kepada Gede Sedana dengan berbagai pertimbangannya. 

Akhirnya moderator menyampaikan kepada peserta apakah penentuan ketua dilakukan secara aklamasi karena tidak ada calon lainnya. Akhirnya disepakati oleh peserta bahwa Gede Sedana ditetapkan sebagai ketua secara aklamasi. Peserta musyawarah meminta kepada ketua terpilih untuk menyusun kepengurusannya dengan mengakomodir dosen-dosen dari berbagai perguruan tinggi untuk bisa memperkuat organisasi FDI ke depan. 

Selama periode 4 tahun kedepan, Gede Sedana yang akan menahkodai organisasi FDI DPD Bali menyampaikan rasa terima kasihnya kepada seluruh peserta yang memberikan kepercayaan untuk menjadi ketua, dan juga kepada perwakilan FDI Pusat yang memfasilitasi penyelenggaraan musyawarah daerah. Gede Sedana yang Rektor Universitas Dwijendra meminta kepada para pengurus FDI yang akan ditunjuk dan dosen-dosen di wilayah Bali saling bahu-membahu untuk menjalankan roda organisasi guna terwujudnya tujuan yang hendak ditetapkan. Acara selanjutnya ditutup langsung oleh Budiarta selaku moderator yang disertai dengan ucapan selamat. (pwt)

Selasa, 17 Maret 2020

Pengumuman Fasilitasi Kuliah Daring

Kepada Pengurus DPD dan anggota FDI se-Indonesia

Salam sejahtera, semoga kita semua berada dalam lindungan-Nya dan dapat menjalankan aktivitas tridharma perguruan tinggi sebaik-baiknya.

Menyikapi perkembangan pandemi Covid-19 saat ini, perguruan tinggi mulai mengeluarkan kebijakan pengurangan perkuliahan tatap muka di kampus. Dosen diarahkan untuk melakukan perkuliahan dengan memberikan tugas kepada mahasiswa atau melakukan perkuliahan secara online. Sebagai bentuk kontribusi terhadap kondisi yang ada, Forum Dosen Indonesia (FDI) menyediakan fasilitas kulian daring/online berupa video conference yang dapat diakses oleh anggota.

Untuk panduan teknis dan penjadwalan akan dilakukan per daerah oleh pengurus di daerah masing-masing. Untuk itu, silahkan menghubungi kontak sebagai berikut:
1. Aceh: Dr. Wahyuddin Albra (+62 852-7729-3755)
2. Sumut: Dr. Mulyadi (@+62 812-6315-231)
3. Jambi: Dr. Abdul Malik (08127852159/ WA 0895622929768)
4. Riau: Roki Hardianto (082384955233)
5. Kepri: Prof. Chablullah Wibisono ( 0811700503)
6. Sumsel: Dr. Desy  (089604899014)
7. Bengkulu: Parwito (081328676033)
8. Jakarta: Dr. Khamami Zada (@+62 812-8468-546)
9. Banten: Dr. Umi Kultsum (@UMI KULTSUM​)
10. Jabar: Rinda Cahyana +6281312131400
11. Jateng: Sarono Widodo (@+62 888-0655-6199)
12. Yogya: Prof. Djoko (@Djoko Budiyanto
13. Jatim: Dr. Nurida Finahari, MT. ( 08113649799)
14. NTB: Dodo Kurniawan ( 08135608219 )
15. Papua Barat: Dr. Ismail +6281315540777
16. Sulsel: Dr. Marhamah +628114449273
17. Sulbar:  Irfan AP, S.T., M.MT (081343862872)
18. Sulteng: Dr. Mochtar (082347264441)
19. Maluku:  Dr. Sientya Latumahina, S.Hut, MP, IPP (@Dr. Sientya.Latumahina)
20. Lampung: Prof. Tulus Suryanto, SE, Akt (081321246272)
21. Kalsel: Lena Hanifah (@L E N A)
22. Sumbar: Dr. Rozi Fitriza (@Rozi Fitriza)
23. Room DPP: Diandara (@Yori Uin)
24. Maluku Utara: Dr. Ricardo (@Ricardo FM)

Untuk rekan-rekan dosen lainnya, silahkan mendaftar untuk menjadi anggota FDI terlebih dahulu di http://fdi.or.id/
Semoga program ini bermanfaat bagi kita semua.

Unduh di sini

Jumat, 28 Februari 2020

FDI Gelar Workshop Blended Learning


Forum Dosen Indonesia menggelar "Workshop Blended Learning Model Sinkron dan Asinkron" bertempat di Ruang Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Tangerang Selatan (28/2) dengan pembicara Dr. Djadja Achmad Sarjana, ST, MM.

Acara dihadiri oleh 50-an peserta dari berbagai kampus di Jakarta dan sekitarnya yang mengikuti acara penuh antusias. Acara dibuka oleh Wakil Dekan FSH UIN Jakarta Dr. Syahrul A'dam dan sambutan oleh Ketua FDI Jakarta Dr. Khamami Zada dan Sekjen FDI Yanuardi Syukur mewakili Ketua FDI Dr Irma Sagala.

Sebelum masuk materi, acara diisi dengan penandatanganan Perjanjian Kerja Sama antara FDI dengan FSH UIN dalam tridharma perguruan tinggi.

Pelatihan ini dirasakan sangat penting oleh peserta karena mereka dapat memadukan pembelajaran offline dan online menggunakan server fdi.kuliahdaring.id.

Berkas Perjanjian Kerja Sama FDI-FSH UIN Jakarta

Acara juga dibarengi dengan praktik kuliah daring. Menurut Dr. Djaja, metode blended learning sangat membantu para dosen dan mahasiswa, karena mereka dapat belajar dari handphone masing-masing.

Selain itu, mahasiswa juga bisa menjadi presenter atau berkomentar secara live. Hal ini berbeda dengan platform lainnya yang hanya bisa satu arah.

Menutup materinya, Dr. Djadja mengatakan bahwa "sekolah adalah tempat yang menyenangkan." Maka, metode pembelajarannya juga harus diusahakan menyenangkan.

Jumat, 21 Februari 2020

Pendidikan Jiwa Bangsa

Oleh: Ismail Suardi Wekke*
Sekelompok anak-anak pulang sekolah, baju merah putihnya dilepas dan dilempar ke atas batu. Tas sekolahpun disimpan di atas bebatuan. Siang itu terik. Mereka langsung loncat ke laut. Bermain, tertawa, dan kemudian saling mengejar.

Cita-citanya tak tinggi. Hanya membayangkan menjadi nelayan saja. Menggantikan ayahnya suatu saat nanti ketika sudah menua. Menyiapkan bahan makanan bagi keluarga, dan ikut menemani ibunda tercinta sesekali di dapur. Sembari bercerita tentang laut. ketika bayangan tentang dunia hanya terlintas ketika bertemu dengan wisatawan mancanegara yang melangkah ke Raja Ampat. Setelah itu, kembali asyik dengan dunianya sendiri.

Dunia dimana alam menjadi tempat bermain. Tidak perlu pusat pembelanjaan yang menjadi tempat untuk bermain. Perjalanan ke sekolah cukup dengan jalan kaki. Bahkan alampun menjadi kelas, ruangan sekolah berbagi dengan kelompok belajar lain secara bergantian. Sekolahpun tidak memerlukan komputer sebagai media pembelajaran. Guru tidak menceritakan tentang cendrawasih tetapi menunjukkan langsung sosok burung itu.

Itu gambaran sekilas anak-anak di kampung Saporkren, Raja Ampat, Papua Barat. Kalau tinggal di tepi laut, ya kemampuan berenang perlu dilatihkan sejak kecil. Bahkan bagi suku Bajo yang tinggal lebih banyak di laut, sejak masih orok sudah diceburkan ke laut.

Pendidikan sejatinya bagaimana seorang individu beradaptasi dengan lingkungan. Tak perlulah saya cerita tentang orang lain. Saya cerita diri saya sendiri. Pendidikan telah mengasingkan saya dari lingkungan sendiri.

Lahir di perbukitan Camba, Sulawesi Selatan. Dikelilingi sawah dan kebun kemiri. Tetapi karena menempuh Pendidikan sampai ke kota, akhirnya tak pulang kampung dan justru tidak bisa hidup di kampung. Pekerjaan yang ditekuni tidak ada urusannya di kampung.

Demikian pula anak-anak yang berenang tadi. Ketika mereka memasuki usia pendidikan sekolah menengah, harus meninggalkan kampung halaman. Berpindah ke pulau lain untuk mengeyam pelajaran sekolah menengah sampai pada Pendidikan tinggi. Mereka akan mengalami pergantian alam dan justru hidup di perkotaan dengan budayanya sendiri. Kehangatan keluarga dan kerabat harus ditinggalkan demi selembar ijazah yang menjadi syarat untuk pekerjaan. Hidup di asrama atau bahkan di kontrakan, demi harapan masa depan.

Jangan sampai pendidikan kita akan mengasingkan murid dari lingkungannya. Walau tetap diperlukan penguasaan teknologi tetapi bukan berarti konsumen teknologi. Maka, dalam konteks kemasyarakatan Pendidikan pesantren senantiasa berusaha relevan dengan kebutuhan masyarakat.


***

Bagi masyarakat Finlandia, Pendidikan terbaik bagi mereka tersedia di Finlandia. Sekolah dan lembaga pendidikan akan menautkan pengalaman belajar dengan lingkungan yang didiami. Institusi pendidikan menjadi pertemuan belajar dengan lingkungan yang menjadi tempat tinggal murid.

Selain itu pendidikan justru menjadi peluang untuk menyadarkan pelajar akan aspirasi lingkungan. Kita bisa menyaksikan Indonesia hadir hari ini sepenuhnya karena kesadaran para pelajar yang berlayar jauh ke negeri Belanda. Di masa mereka belajar, justru menyerap ide-ide pembebasan bangsa dari penjajahan Belanda.

Sekembalinya ke tanah air, pengalaman belajar yang diperoleh justru menjadi daya dukung untuk mengusahakan proklamasi. Akhirnya, kita menikmati kewujudan Indonesia sampai saat ini. Semuanya itu salah satunya dimulai dari bangku Pendidikan.

Pesantren As’adiyah di Sengkang, Sulawesi Selatan, mewajibkan alumninya untuk mengabdi di masyarakat selama setahun usai lulus dari jenjang Aliyah. Bahkan, setiap Ramadhan santri-santri disebar ke pelbagai wilayah sampai ke luar pulau Sulawesi untuk menjadi pelayan umat melalui tugas imam masjid dan juga ceramah. Begitu pula mengajar di madrasah diniyah.

Dari dua studi kasus ini menunjukkan sekali lagi bahwa Pendidikan merupakan instrumen masyarakat. Jangan sampai apa yang menjadi materi belajar di sekolah justru sama sekali tidak berhubungkait dengan kehidupan itu sendiri.

Manusia seperti burung. Tempat terbaik bagi burung adalah sarangnya sendiri. Bukan sarang burung lain. Pepatah memesankan “setinggi-tinggi burung kembali ke sarangnya jua”. Begitulah manusia, kemanapun pergi selalu terpaut hatinya dengan rumahnya sendiri. Maka, seorang murid keterpautan dengan lingkungannya yang merupakan “sarang”, itulah yang perlu diperkenalkan sejak dini. Bukan mengenalkan “sarang” orang lain.

Belanda mewajibkan setiap murid untuk terampil berenang. Bahkan ada uji kompetensi itu di sekolah dasar. Misal ini bukan tentang Belanda melainkan terkait dengan lingkungan. Negara Belanda dikelilingi oleh sungai-sungai. Ketika seorang warga tidak bisa berenang, bisajadi akan ada kasus kematian yang terjadi karena ketidakmampuan berenang. Maka, diwajibkanlah kemampuan berenang itu untuk dikuasai setiap warga sejak anak-anak sekalipun.  Termasuk kepada orang asing yang juga belajar di Belanda pada tingkatan sekolah dasar.

***

Lalu apa yang dapat kita lakukan?. Tindakan yang diperlukan adalah menghubungkan pengalaman belajar dengan keperluan lingkungan. Anak di daerah pesisir, perlu dilatih untuk mengenal ikan, termasuk bagaimana menjaga lingkungan perairan.

Begitu pula dengan kearifan lokal perlu diperkenalkan sejak dini melalui institusi Pendidikan. Seperti sasi di masyarakat Papua. Sasi merupakan tradisi berpantang untuk mengambil sesuatu dari alam. Baik berpantang dalam komoditas tertentu atau Kawasan tertentu dalam jangka waktu yang disepakati.

Bisa jadi, masyarakat pesisir Raja Ampat belum sampai ke revolusi industri 4.0. mereka bahkan masih menantikan listrik ataupun signal telepon, dan juga koneksi internet. Dalam konteks ini, mereka tidak memerlukan pidato tentang 4.0. Tetapi tetap bahagia dengan ketiadaan listrik. Walau belajar di malam hari kadang ditemani dengan temaram lilin saja.

Institusi Pendidikan melalui guru, perlu didorong untuk mengembangkan pendidikan sesuai dengan lingkungan masing-masing murid. Tidak harus sama dengan pulau lain, dimana alam dan lingkunganya yang juga berbeda. Termasuk bahan bacaan yang juga perlu didorong untuk diterbitkan secara regional. Tidak harus bacaan dari Jakarta dikirim ke Papua, dimana minat cerita yang tentu saja berbeda. Guru dilatih dan diberi kesempatan untuk menuangkan ceritanya sendiri ke buku yang akan dijadikan sebagai materi belajar.

Dinas Pendidikan yang juga mengemban kebudayaan diberi kesempatan memproduksi film dengan kerjasama swasta. Film-film yang dijadikan bahan ajar tidak harus bernuansa ibukota. Setiap pulau perlu memproduksi filmya sendiri-sendiri. Itu pulalah yang menjadi percakapan warga. Tak harus film seperti “Ada Apa dengan Cinta” yang menjadi percakapan bersama dari Merauke ke Sabang. Sesorongnya, produksi film beragam sebagaimana kebinekaan Indonesia.

Demikian pula soal lagu. Tak harus semuanya menyanyikan lagu Korea ataupun menggemari K-Pop. Koleksi lagu Indonesia yang berasal dari semua daerah, tidak kekurangan. Maka, mengenalkan dan mempromosikan lagu-lagu daerah sama bagusnya dengan mengenalkan lagu berbahasa asing. Begitu juga dengan lomba pidato bahasa Inggris, tetap penting. Sama pentingnya dengan lomba pidato bahasa daerah, sebagai contoh lomba pidato Bahasa Bugis bagi sekolah-sekolah di wilayah yang berbahasa Bugis.

Satu pertanyaan sebagai akhir. “Dapatkah manusia bisa hidup tanpa mengenal teknologi?” bisa saja. Kita bisa menyaksikan masyarakat Badui, begitu pula masyarakat Kajang. Keduanya memilih untuk tidak menggunakan teknologi. Hanya sepenuhnya hidup dengan menjaga kelestarian alam. Bukan menjauhi, tetapi memilih untuk menggunakan sekadarnya. Mereka tetap saja Bahagia dan bahkan tetap menikmati kehidupan ini.

Maka, teknologi bukan segalanya. Mengajarkan penggunaan teknologi bukanlah pelajaran wajib dalam hidup. Kewajiban setiap murid justu terletak pada bagaimana menjaga relasi dirinya dengan alam yang menjadi wujud dari hadirnya Allah. Ketika manusia mengenal alam, maka itu bagian dari usaha untuk mengenal Allah. Menjaga alam sesungguhnya menjaga kehidupan itu sendiri. Itulah yang menjadi tugas utama dan pertama Pendidikan. *

Ismail Suardi Wekke, Ketua DPD FDI Papua Barat.

Agenda ke Depan

Agenda ke Depan